Apakah Amandemen Konstitusi Tinggal Menunggu Waktu?
Isu Amandemen konstitusi kembali mencuat pasca bergabungnya PAN dalam koalisi partai pendukung presiden Jokowi. Masuknya PAN ditengarai untuk memuluskan jalan amandemen konstitusi. Berbagai spekulasi pun berkembang diantaranya keinginan memperpanjang masa kekuasaaan dengan dalih pandemi. Amandemen konstitusi ibarat menguapkan kotak pandora bisa membuka pintu bagi nafsu oligarki yang mengkhianati amanat reformasi. Lantas ada apa dibalik keinginan amandemen konstitusi?Â
Sidang bersama DPR, MPR, DPD 16 Agustus 2021 menjadi momen resmi untuk menyosialisasikan gagasan amandemen UUD 1945. Ketua MPR dan ketua DPD RI sama-sama menyatakan pentingnya perubahan konstitusi, tapi untuk siapa amandemen itu? Di awal pembahasan, diputar cuplikan pernyataan ketua MPR , Ketua DPD RI dan presiden Jokowi saat sidang tahunan 16  Agustus 2021, dimana menurut ketua MPR Bambang Susatyo "Untuk mewadahi PPHN dalam bentuk hukum ketetapan MPR sesuai dengan hasil kajian, memerlukan perubahan UUD, oleh karenanya  diperlukan perubahan secara terbatas terhadap UUD NRI 1945 khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN.Â
Sementara ketua DPD RI menyatakan "Sangat penting bagi kita sebagai bangsa yang besar dan tangguh memiliki arah kebijakan yang disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif, Â oleh karena itu DPD RI mendukung adanya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam konstitusi kita. Sedangkan Presiden Jokowi tentang agenda amandemen konstitusi MPR ini menyatakan "Agenda MPR untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum pokok-pokok haluan negara juga perlu diapresiasi untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.Â
Bagaimana pandangan pakar tata negara dan pengamat politik  tentang soal ini ? Pakar tata negara Bivitri Susanti berpandangan bahwa menurut pasal 37 UUD 45 memang tidak ada andil presiden, 3 pidato tersebut menunjukkan keseriusan para petinggi negeri ini. Amandemen konstitusi tidak memerlukan persetujuan presiden, tapi pidato presiden Jokowi hanya untuk menunjukkan dia sebagai aktor politik yang sangat penting. Jadi pasal 37 itu hanya membutuhkan sepertiga dari total jumlah anggota MPR dari 709 orang saja yang harus menyetujui amandemen saat sidang MPR.
 Selanjutnya apakah 3 pimpinan lembaga berpidato pada momen yang sama, apakah ini merupakan kebetulan politik? menurut Bivitri, ini bukan kebetulan, amandemen bukan sesuatu yang sebenarnya dibutuhkan  saat ini, konstitusi berbeda dengan undang-undang, bukan karena konstitusi sudah tua dan harus diamandemen, bukan seperti ini cara berfikirnya. Ini merupakan hukum dasar, kerangka negara kita yang tidak sembarangan diamandemen tanpa ada momentum konstitusionalnya, biasanya mengikuti peristiwa besar. Andil para petinggi negara menurutnya sudah dipersiapkan, amandemen dilakukan apabila ada kebutuhan konstitusional yang sangat penting.Â
Sedangkan menurut pengamat politik Burhanuddin Muchtadi, dari tinjauan politik, apa yang terjadi jika MPR melakukan amandemen konstitusi? Di periode kedua kekuatan pemerintahan Jokowi setelah PAN bergabung  adalah 82 persen. Yang membedakan presiden-presiden terdahulu dengan presiden Jokowi adalah kontrol terhadap partai.Â
Dulu partai yang mengontrol presiden, sekarang presiden yang mengontrol partai. 2 tahun terakhir banyak agenda presiden Jokowi yang berjalan mulus, mulai UU cipta kerja, gagalnya revisi undang-undang pemilu, dimana partai pendukungnya  awalnya yang menginginkan revisi, kemudian yang terakhir perppu tentang stabilitas keuangan menghadapi COVID. Partai koalisi itu berbeda-beda satu sama lain. Jadi tidak sama antara Nasdem dengan PDIP,  golkar dengan Gerindra.Â
Dalam soal PPHN itu adalah inisiatif PDIP, tetapi Golkar dan Nasdem berbeda. Kemudian soal 3 peiode, masing-masing juga memiliki kepentingan subyektif yang berbeda, misalnya Gerindra dengan Golkar pasti memiliki kepentingan subyektif agar ketua umumnya yang maju di 2024, kalau kemudian memberikan tiket sekali lagi kepada Jokowi, tentu  menguntungkan buat Jokowi dan partai lain yang tidak mempunyai calon, tetapi bagi partai seperti Golkar dan Gerindra bahkan PDIP belum tentu itu menguntungkan. Dititik ini menurut Burhanuddin, soal amandemen ini bukan soal koalisi versus oposisi, tetapi koalisi versus koalisi. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H