My Village
DwirosoÂ
Jalan panjang terhampar
Walau tak rata bagai sirkuit balap
Namun tak begitu membuat terguncang-guncang
karena bergelombang
Disisi kanan dan kirinya hijau bak permadani
Sungai dengan ikan yang tak pernah habis
Bila datang musim kemarau
pohon-pohon randu meranggas daunnya
Dan anak-anak berseluncur
di tanah lapang saat hujan datang
Suara gaduh riuh rendah
menandai keceriaan
Aku berdiri disana
Membayangkan
Apa yang akan terjadi
Setelah waktu berjalan seperempat abad
Aku masih tak bergeming
Dalam lamunan
Mendesain perubahan kampungku
Jika kutinggal dalam waktu panjang
dan aku hari ini kembali
setelah lebih dari seperempat abad menghilang,
sebentuk kaligrafi di tembok surau
masih kulihat walau telah kusam
seakan ingin menyambung cerita yang terpenggal
Yang aku saksikan hari ini
perubahan itu sungguh-sungguh terjadi
kampungku telah menjadi pusat industri
hijaunya dedaunan
segarnya ilalang kini telah hilang
berganti bangunan-bangunan menjulang
Pabrik dengan cerobong asapnya
yang mengepul sepanjang harinya
yang membuat warga tak lagi nyaman
segera mereka menjual tanahnya
sepetak demi sepetak tanah kampungku berpindah tangan
dan seluruhnya telah dikuasai para pemilik modal
lagu-lagu balada selalu terdengar
dari radio rumah tetangga
mengiringi keasrian
dan keelokan kampungku
dengan hamparan sawah
pergi dan pulang berjalan
jalan yang selalu kulewati
kini telah penuh sesak mobil
dan truk bak terbuka penuh muatan
tak ada lagi
keindahan
tak nampak lagi
pepohonan meranggas kala kemarau
suasana anak-anak berseluncur
di tanah lapang saat hujan
tak akan datang lagi
dan lagu itu
hanya membawaku pada masa silam yang telah karam