"hai tau kah kau bahwa
hidup itu berat
mengapa tak mencoba
berkesenian saja
karena seni membuat semua trasa mudah
karena seni membuat semua jadi indah
karena seni membuat semua jadi asik"
(Indie Art Wedding)
Penggalan syair di atas adalah sebuah refkleksi subjektif yang menggambarkan tentang seseorang yang menjadikan seni sebagai bumbu kehidupan. Sebagaiman seni yang dijadikan sebagai alat dalam merefleksi kehidupan seseorang.
Begitupun yang diungkapkan oleh George Lucas  via Terry Eagleton dalam buku Marxisme dan Kritik Sastra bahwa seni atau sastra adalah refleksi terhadap lingkungan sosial. Tentunya seni bukan hanya sebagai hal-hal yang imajinatif dan kaku tapi mampu menjadi gambaran lingkungan sosial yang direfleksikan melalui seni dan sastra. nah, bagaimana jika Seni terbelenggu oleh kekuasaan yang bangsat?
Seperti yang terjadi di Uni Soviet (Rezim Stalin). Seni adalah alat pemuas nafsu dari kekuasaan --yang tunduk atas kehendak Partai Penguasa di Uni Soviet. Hasilnya, seni menjadi medium yang runcing ke atas dan tumpul kebawah -- tak menggambarkan kejadian-kejadian yang sesungguhnya.
Bangsatnya kekuasaan di Negara ini tak jauh berbeda dari tindakan si Stalin. Tak berhenti pada polemik UU ITE, UU PT No. 12 tahun 2012 serta "perampokan" buku-buku yang bercita rasa kekiri-kirian -- PKI  atau aliran komunisme, Sejarah Gerakan Kiri Indonesia terbitan Ultimus Bandung, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie  hingga karya dari The Founding Father (Soekarno) yang Berjudul Islam Sontoloyo di berbagai pelosok Negeri ini (Kediri, Ternate, DIY, dll). Kesemuanya adalah beberapa regulasi dan kasus yang berusaha memenjarakan kemerdekaan HAM dari masyarakat.
Pemerintah tak pernah kehabisan ide dalam memelihara kebinatangan dari singgasananya. Di saat ini, media sosial berteriak di jagad raya dunia maya, menyoal tentang seni yang dikekang oleh sebuah regulasi. Tergambarkan di dalam naskah akademik RUU Permusikan yang menuai banyak kontroversi di Khalayah Publik. RUU ini seolah-olah menyimpan titik hitam yang akan menghancurkan nalar kritis serta daya kretifitas dari masyarakat. Â
Titik hitam tersebut merupakan pasal-pasal "karet" yang menjadi ruang ekspresi ala kekuasaan. Menurut Ucok Homicide via tirto.id bahwa RUU Permusikan seperti gabungan Orde lama dan Orde baru. Seperti yang terkandung di dalam pasal 5 yang berisi larangan bagi para musisi. Mulai dari larangan membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pronografi hingga provokatif.
Kesemuanya itu adalah bentuk ketidakpastian hukum yang tak diterangkan dengan jelas. Artinya, hanya Pemerintahlah yang mampu menafsirkan itu sesuai dengan kehendaknya. Jika tidak, maka pekerja seni harus mendekam di dalam penjara.
Lanjut. Pasal 32 dalam RUU tersebut merupakan salah dua diantaranya, bahwa pekerja seni harus melakukan uji kompetensi jika ingin diakui profesinya sebagai musisi dan seniman. Ketentuan tersebut akan difiltrasi oleh Pemerintah. Jika ingin menjadi musisi dan pekerja seni, masyarakat harus memiliki Surat Izin Musisi (SIM) dan itu atas kehendak kekuasaan. Manurut Iksan Skuter via tirto.id bahwa Ada fasisme di RUU itu. Memaksakan pekerja seni untuk ikut terhadap keinginan Pemerintah.