Mohon tunggu...
Dwi Ramadhani
Dwi Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mulawarman

Saya suka menghabiskan waktu untuk membaca buku atau menonton film. Kepribadian saya cenderung tertutup terhadap sesuatu yang baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Etika Guru dan Konten: Izin Bukan Segalanya

12 Desember 2024   17:17 Diperbarui: 12 Desember 2024   17:17 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Opini: Melindungi Anak di Era Digital dari Eksploitasi dan Pelanggaran Etika Pendidikan

Kasus guru di Tabanan yang membuat konten siswi SMP dengan pose-pose seksi, meski diklaim atas izin orang tua, merupakan alarm penting tentang pelanggaran etika dalam dunia pendidikan dan pengawasan terhadap anak di era digital. Tindakan ini tidak hanya melibatkan eksploitasi anak, tetapi juga mencerminkan kegagalan peran guru, orang tua, serta kurangnya pengawasan dari masyarakat dan lembaga pendidikan. Dalam konteks ini, sangat penting untuk mengevaluasi nilai-nilai moral yang kita anut dan langkah apa yang harus diambil untuk mencegah kasus serupa.

Profesi guru bukan hanya soal mengajar mata pelajaran akademik, tetapi juga menjadi teladan moral dan pelindung bagi anak-anak. Guru adalah panutan yang kehadirannya dihormati dan diharapkan menjaga nilai-nilai luhur dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, tindakan guru dalam kasus ini tidak dapat diterima, bahkan jika mendapatkan izin dari orang tua benar adanya. Izin tersebut tidak menghapus tanggung jawab etis seorang guru untuk memastikan bahwa tindakan mereka tidak membahayakan perkembangan mental, emosional, dan sosial siswanya.

Guru seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi siswa dari eksploitasi, termasuk dalam bentuk yang tersembunyi di balik dalih "kreativitas" atau "hiburan." Tindakan seperti ini bukan hanya pelanggaran terhadap norma pendidikan, tetapi juga menciptakan potensi kerugian psikologis bagi anak-anak yang terlibat. Anak-anak, dengan ketidaktahuan mereka akan konsekuensi jangka panjang, bisa menjadi korban perundungan, merasa malu, atau mengalami trauma di kemudian hari. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak, karena anak-anak adalah aset penting bagi masa depan masyarakat.

Di sisi lain, orang tua dalam kasus ini juga memegang peran yang tidak kalah penting. Memberikan izin kepada anak untuk terlibat dalam konten yang tidak pantas mencerminkan kurangnya pemahaman akan dampak jangka panjang tindakan tersebut. Di era digital, di mana segala sesuatu bisa dengan mudah direkam dan diakses secara permanen, peran orang tua menjadi semakin krusial. Orang tua seharusnya menjadi pelindung utama anak, memastikan bahwa setiap aktivitas anak tidak melanggar batas-batas moral dan tidak membuka peluang untuk eksploitasi.

Internet dan media sosial, meskipun membawa banyak manfaat, juga menyimpan potensi ancaman besar, terutama bagi anak-anak. Normalisasi konten yang tidak pantas di media digital bisa memengaruhi persepsi moral generasi muda. Anak-anak yang terlibat dalam konten seperti ini sering kali tidak memahami bahaya reputasi yang mereka hadapi di masa depan. Lebih jauh, eksistensi konten semacam itu dapat memberikan contoh buruk kepada anak-anak lain, menciptakan siklus negatif yang sulit dihentikan tanpa intervensi yang serius.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa sekolah menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Sekolah harus memperketat aturan terkait penggunaan teknologi dan media digital, baik oleh siswa maupun tenaga pendidik. Pengawasan terhadap guru harus diperketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, dan program pendidikan tentang etika digital harus diterapkan untuk mengedukasi siswa, guru, dan orang tua tentang bahaya yang mengintai di era teknologi ini. Sekolah juga perlu memastikan bahwa lingkungan pendidikan mereka benar-benar mendukung perkembangan anak secara holistik, bebas dari eksploitasi dalam bentuk apa pun.

Kasus ini juga menunjukkan perlunya regulasi yang lebih kuat untuk melindungi anak-anak di era digital. Pemerintah harus meninjau kembali kebijakan dan undang-undang yang terkait dengan eksploitasi anak, terutama dalam konteks penggunaan teknologi. Hukuman yang tegas harus diberikan kepada pelaku eksploitasi anak untuk memberikan efek jera. Selain itu, peraturan mengenai pembuatan konten yang melibatkan anak-anak harus diperketat. Setiap bentuk keterlibatan anak dalam konten digital harus diawasi secara ketat, dengan mekanisme persetujuan yang jelas dan terstruktur.

Namun, langkah hukum dan regulasi saja tidak cukup. Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi membutuhkan dukungan psikologis yang memadai untuk membantu mereka pulih dari trauma. Proses pemulihan psikologis ini penting agar anak-anak dapat melanjutkan hidup mereka dengan percaya diri dan tanpa beban emosional yang berkepanjangan. Semua pihak, termasuk sekolah, orang tua, dan pemerintah, harus bersinergi untuk memastikan bahwa kebutuhan psikologis anak-anak korban eksploitasi terpenuhi.

Kasus di Tabanan ini adalah pengingat serius bahwa eksploitasi anak tidak boleh dianggap enteng. Tindakan ini bukan hanya mencoreng profesi guru, tetapi juga menunjukkan celah besar dalam pengawasan orang tua dan sistem pendidikan kita. Jika dibiarkan, kasus serupa dapat terus terjadi, merugikan anak-anak yang seharusnya dilindungi. Oleh karena itu, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mencegah eksploitasi anak dalam bentuk apa pun, melindungi generasi muda, dan memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bermartabat. Dengan memperkuat regulasi, meningkatkan kesadaran moral, dan memberikan dukungan penuh kepada anak-anak, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap perlindungan anak dan masa depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun