Sekarang, harus sekarang, atau tidak akan pernah.
"Langit!" panggilku yang langsung menyita seluruh atensi teman sekelas yang masih belum meninggalkan kelas, termasuk Langit.
Ah, malu sekali. Apakah suaraku terlalu keras?.
Terlihat jelas raut bingung tercetak di wajah milik Langit, tetapi badannya bergerak untuk terlebih dahulu menghampiriku, membuat kakiku seperti terpaku ditempat.Â
"Kenapa?" tanya Langit dengan kepalanya yang ia miringkan ke kanan, ekspresi bingung sekaligus penasaran menghiasi wajahnya, menungguku untuk berbicara.
Sepersekian detik, aku mulai kembali ke kesadaranku. Menarik napas dengan gugup, bola mata kecokelatanku mulai menangkap sorot mata hitam legam Langit yang tenang, mengalirkan ketenangan yang tidak tahu darimana berasal. Sorot matanya? Suaranya? Atau cara dia menghargai lawan bicaranya?.
"Ah, saat kamu dihukum tadi.... Pak Andi memberikan tugas kelompok. Kita berpasangan dan tugasnya adalah membuat kerajinan tiga dimensi. Kamu ada waktu untuk mengerjakan kapan?"
Langit bergumam, tampak memikirkan jawaban untuk pertanyaanku. Aku dapat merasakan keraguan pada gestur tubuhnya, mungkin karena dia bingung waktu yang pas?
"Besok sehabis pulang sekolah saya sepertinya bisa. Kamu keberatan?" tanyanya sambil melemparkan senyuman seolah ia telah mendapatkan jawaban yang pasti.
Aku mengangguk, ragu untuk membalas senyumannya jadi aku hanya memberikan anggukan sebagai respon.Â
"Nggak kok, besok sehabis pulang sekolah ya."