Mohon tunggu...
Dwi Putri Novita
Dwi Putri Novita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis untuk menyalurkan hobi

Muda harus berkarya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebahagiaan yang Tercipta dari Kuas

6 Januari 2024   14:31 Diperbarui: 6 Januari 2024   14:40 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: piqsels

Suara riuh itu meramaikan rumah sederhana yang berada di balik pohon rambutan. Ditemani matahari yang hampir tenggelam, aku menatap langit dari bilik jendela ruang tamu yang letaknya jauh dari keramaian saudara-saudaraku, mereka tengah asik mengobrol. Aku sengaja untuk menjauh dari keramaian karena merasa tidak nyaman. Seringkali ketika aku ikut di keramaian, tanteku hanya olok-olok diriku dengan memberi julukan orang yang tidak berguna juga payah karena hanya duduk diam di kursi roda. Tante setiap datang ke rumahku selalu membanding-bandingkan aku dengan anaknya, Rey Namanya. Rey satu sekolah denganku, anaknya pintar dalam akademis dan selalu mendapatkan juara 1 ketika olimpiade. Aku memang tidak pintar dalam hal akademis, tapi bukan berarti aku payah dan tidak berguna seperti yang dikatakan tante. Aku selalu giat belajar dan tidak pernah menyerah untuk memahami materi pembelajaran di sekolah agar nilai ku tetap stabil.

Di rumah aku tidak hanya belajar materi pembelajaran dari sekolah, aku juga memiliki bakat aku sendiri. Kamar ku penuh dengan lukisan, mulai dari kanvas yang kecil hingga yang besar. Di sekolah guru seni selalu memujiku karena hasil gambar ku yang bagus. Aku senang mendengar pujian dari guru seni aku, karena hanya dirinya lah yang bangga dengan hasil karyaku. Saat ada pameran gelar seni budaya di sekolahpun, aku seringkali menampilkan hasil karyaku.

Ujian sekolah kelulusan Sekolah Menengah Atas tiba, seharian penuh aku belajar untuk ujian ditemani lukisanku yang membakar api semangatku untuk belajar.Hingga pada akhirnya pengumuman nilai sudah di depan mata. Jari telunjuk ku mulai turun di kertas yang berada di madding itu mencari namaku. Tepat di nama Gabriella Ella aku mengetuk jari telunjukku dan mulai menggeser untuk melihat nilai. Ekspresiku yang tadinya senang karena memiliki ekspetasi yang bagus langsung berubah dengan cepat menjadi datar. "Kenapa disaat pengumuman nilai, tanteku akan datang ke rumah" batin aku yang sudah mengetahui bahwa nanti akan diolok oleh tante.

Mobil putih itu datang dengan kecepatan yang sedang menghampiriku yang sedang menunggu bersama Rey. Mobil itu berhenti posisi pintu mobilnya tepat di hadapanku. Tante keluar menghampiriku dan membuka bagasi belakang untuk menaro kursi roda. Aku dibantu oleh Rey duduk di dalam mobil. Tante masuk mobil dan ingin memulai perjalanan sembari berkata "Tante tebak pasti nilai kamu jelek kan El? Dari ekspresi kamu juga kelihatan, beda banget sama Rey. Kamu payah banget ya, gabisa punya prestasi apa-apa" Celetuk tante dengan melihat ekspresiku dari cermin mobil. Aku hanya terdiam, dan mengintip kearah Rey yang sedang buang muka melihat luar jendela.

Sesampai di rumah aku segera menuju kamarku dan mulai membuka gorden dan menatap pohon rambutan yang sedang tertiup angin itu. Lamunanku berhenti disaat aku ingin melihat hasil karya lukisanku. Aku merasa bahwa diriku memang berbakat di bidang seni terlebih lagi di seni lukis. Namun, aku kembali berpikir untuk apa semua hasil karya lukis ku ini, akan aku kemanakan? Apa memang benar aku payah? Walaupun aku berpikir akan dikemanakan lukisan ku ini, Aku tetap mengambil kuas kesanyanganku untuk melampiaskan emosi yang kurasa.

Aku siapkan semua bahan lukisan favoritku dengan rapi. Tanganku mengambil cat lukis dengan banyak warna. Aku oleskan kuasku ke kanvas dengan penuh emosi amarahku. Aku melukis sebuah pohon yang berada sendiri di lapangan dengan memiliki banyak warna untuk mewakilkan perasaanku yang berantakan dan pohon yang mengartikan bahwa di lingkungan yang sebesar itu hanya diriku seorang yang berdiri. Setiap olesan yang kubuat bersama jatuhnya air mata.

Setelah aku menyelesaikan lukisan, aku segera mengabadikan hasil lukisanku. Aku mengunggah hasil foto lukisankutadi ke sosial media. "Hampa, berdiri sendiri, di tempat yang luas. Indah, mewarnai, menghiasi namun sayang dirinya merasa sendiri dan banyak luka yang didapatkan" tulisku di dalam caption.

Aku merasa lebih tidak berguna disaat tanteku tidak mendaftarkan aku ke Pendidikan selanjutnya. Tante merasa bahwa aku payah dan tidak akan menjadi pintar sehingga sia-sia jika aku didaftarkan di universitas. Aku tidak bisa menolak dan membantah karena ibuku menurut dengan peintahnya kakaknya tersebut.

Merasa hampa sendiri, akhirnya kupegang ban kursi roda aku untuk menuju taman. Tanpa pamit ke ibu, aku segera menuju ke taman ditemani angin sore yang sejuk itu. Aku duduk dekat pohon besar yang berada di taman, daunnya yang berjatuhan diterpa angin membuat suasana menjadi lebih sedih. Seolah pohon ini tau bahwa diriku sedang bersedih dan mendukungnya untuk menangis. Baru saja ketika aku ingin menangis, terdapat satu bunga yang jatuh tepat dipangkuanku. Aku langsung spontan melihat ke atas dan senyum terhadap pohon itu. Langit yang nampaknya mulai gelap, segera aku pulang menuju rumah.

Sesampai di rumah, tak ku sangka ibu sedang mengobrol dengan seorang pira yang sangat tinggi dan pundaknya yang lebar membuat tampilannya menjadi gagah, berwira ditambah dengan menggunakan jas hitamnya. Setelah aku datang, ibu langsung menunjukku dengan senyum kepada pria tersebut. Pria tersebut berbalik dan menyapaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun