Sekolah merupakan tempat pendidikan formal untuk siswa menimba ilmu dan sebagai tempat bersosialisasi antara individu dengan individu lainnya yang berbeda latar belakang dan kepribadian. Sekolah juga menjadi tempat pendidikan karakter yang diharapkan mampu mendidik anak-anak dengan berakhlak mulia dan mampu bersosialisasi dengan baik. Namun, walaupun sekolah telah menjadi lembaga formal dalam pembentukan karakter, fenomena bullying menjadi isu yang kerap kali terjadi pada anak di lingkungan sekolah. Bullying sendiri adalah salah satu perilaku agresif yang dilakukan oleh individu maupun secara kelompok terhadap individu atau kelompok lain dengan tujuan untuk merendahkan, menyakiti, mendominasi, atau mengasingkan pihak lain. Perilaku bullying ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, dari faktor keluarga, lingkungan sosial, lingkungan sekolah dan faktor teman sebaya. Adapun yang menjadi pemicu aksi bullying tersebut antara lain, tipe kepribadian anak, kepercayaan diri, dominasi kelompok mayoritas, iklim sekolah dan peran teman sebaya.
Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2014 mencatat bahwa dari total pengaduan bullying, yang terjadi di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan ataupun aduan pungutan liar (Republika, 2014). KPAI menemukan bahwa anak mengalami bullying di lingkungan sekolah sebesar (87.6%). Dari angka (87.6%) tersebut, (29.9%) bullying dilakukan oleh guru, (42.1%) dilakukan oleh teman sekelas, dan (28.0%) dilakukan oleh teman lain kelas (Prima, 2012).
Berdasarkan data tersebut, terjadinya aksi bullying tentunya di dasari atas formasi hubungan pelaku, korban dan saksi sehingga dengan hal tersebut berdampak perilaku pada kondisi mental antara pelaku, korban , dan saksi dari tindakan bullying.
Pelaku dari aksi bullying ini biasanya tidak hanya menggunakan satu cara dalam melakukan tindakan bullying tersebut, melainkan ada beberapa cara dalam memperlakukan korbannya, diantaranya ada  physical aggression yang mana pelaku menggunakan fisiknya untuk melakukan sesuatu dengan tujuan menyakiti baik berupa pukulan, cubitan, atau menampar korban, yang kedua  ada verbal aggression dimana pelaku menggunakan kata-kata secara lisan ataupun tulisan untuk melakukan tindakannya, dan yang terakhir ada relational aggression dengan cara ini pelaku menggunakan pihak ketiga untuk melakukan tindakan bullying tersebut. Dengan melakukan tindakan bullying tersebut si pelaku secara tidak langsung juga terkena dampak psikologisnya. Dampak tersebut antara lain, merasa angkuh dan merasa dirinya paling kuat, tidak memiliki empati dan simpati kepada teman sebayanya, memiliki gangguan emosional yang tidak stabil, beresiko menjadi pelaku kekerasan dalam lingkungan sosial, memicu perilaku destruktif lainnya, bisa terjerat kasus penindasan atau perundungan, dan dapat terkena sanksi sosial dari masyarakat maupun lingkungan sekolah. Dengan banyaknya efek negatif dari perilaku bullying tersebut, pelaku harus sadar bahwa dia telah merugikan orang lain untuk melakukan aksinya, berfikir bahwa pelaku bisa jadi suatu saat membutuhkan bantuan dari korban tersebut, menumbuhkan jiwa empati dan simpati pelaku kepada teman sebaya , dan bisa dengan memberikan sosialisasi tentang bullying pada anak seusia sekolah.
Pada korban perilaku bullying ini, disasarkan kepada individu yang dianggap tidak berdaya ketika menerima perlakuan tersebut. Beberapa anak yang menjadi sasaran ada yang melawan balik pelaku, berdiam diri dengan tidak melakukan hal apapun, dan jarang ketika korban melaporkan kepada orang dewasa. Dampak yang bisa berakibat pada korban perilaku bullying adalah tingkat kepercayaan diri yang semakin menurun, tekanan mental, dikucilkan, trust issue, rasa emosional, menurunnya motivasi belajar, kesepian, menimbulkan efek traumatik, meluapkan emosi tidak pada tempatnya, balas dendam dengan lebih keji , ketakutan bersosialisasi, gangguan psikosomatis, bisa menyebabkan agoraphobia dan bunuh diri. Dampak psikologis tersebut harus ditangani supaya tidak menyebabkan ke hal-hal yang tidak diinginkan. Langkah yang harus dilakukan ketika individu menerima perilaku bullying yaitu berani bersikap tegas untuk mampu berespon, tidak mudah agresif terhadap pelaku bullying, menumbuhkan sikap percaya diri, memperbanyak relasi yang positif, menunjukkan prestasi, tidak memendam emosi sendiri, dan mampu melaporkan kepada orang yang lebih dewasa.
- Saksi
Saksi atau pengamat dari ini biasanya mengenal tindakan tersebut dengan mengamati tindakan bullying disekitar mereka yang dilakukan oleh pelaku kepada korban dari bullying ini. Beberapa dari saksi ketika melihat tindakan tersebut bisa melerai dan memberhentikan dan tak sedikit saksi juga yang hanya melihat dengan perasaan ketakutan ketika dia akan menghentikan tindakan tersebut. Hal ini biasanya si pelaku bullying memberikan kecaman kepada saksi agar mereka tidak ikut campur tangan terhadap aksinya, sehingga saksi yang tidak memiliki keberanian pun merasa tak punya kuasa untuk menolong korban. Situasi seperti ini yang bisa menyebabkan kondisi psikologis saksi ikut terdampak, karena yang seharusnya dia berani untuk melerai atau melaporkan perilaku tersebut, dia justru ditekan oleh adanya kecaman dari pelaku. Sehingga dia bisa merasa bersalah kepada korban, merasa takut untuk menolong, mengganggu kestabilan emosi saksi, mengalami kecemasan maupun rasa tidak percaya diri. Dampak tersebut bisa diatasi dengan beberapa hal antara lain, menumbuhkan keberanian untuk menghentikan aksi tersebut jika melihatnya, memahami bahwa saksi memiliki kuasa untuk membantu korban, dan menumbuhkan keterampilan dalam penyelesaian masalah.
Dengan berbagai dampak kondisi psikologis antara pelaku, korban dan saksi dapat diantisipasi dan dicegah supaya perilaku tersebut tidak berkelanjutan. Selain dari sisi internal pelaku, korban, dan saksi, peran serta lingkungan sekitar seperti , keluarga, masyarakat, lingkungan sekolah juga harus memberikan pendidikan dan pemahaman tentang anti-bullying kepada anak-anak seusia sekolah supaya mereka belajar untuk menghargai kehadiran orang lain, dan memiliki sikap simpati dan empati terhadap teman sebaya mereka. Jika semua pihak tersebut berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan anti-bullying, tentunya grafik perilaku bullying akan terus menurun dari tahun ke tahun, sehingga anak-anak tidak mendapati perilaku bullying ketika dalam lingkup sekolah maupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H