Di era digital ini, hampir seluruh lapisan masyarakat merupakan pengguna aktif media sosial. Bahkan, internet seperti sudah menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang berlomba-lomba untuk meraih popularitas dengan segala cara, tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, demi keuntungan pribadi. Hal tersebut menyebabkan munculnya sikap tone deaf atau bodo amat yang justru berdampak besar bagi orang lain.
Fenomena tone deaf menunjukkan perilaku yang tidak peka dan tidak mampu berempati terhadap suatu kejadian. Orang dengan kebiasaan ini cenderung berkata atau bertindak tidak sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu tertentu. Misalnya saat seseorang melontarkan sesuatu yang dianggap kontroversial terhadap isu di masyarakat. Hal tersebut dapat memancing berbagai tanggapan hingga timbul konflik baru yang tidak ada penyelesaiannya.
Penyebab Sikap Tone Deaf
Seseorang menjadi tone deaf karena memiliki ego yang tinggi sehingga tidak ingin menerima pendapat dan kritik dari orang lain. Orang yang egois merasa dirinya adalah yang paling benar, tidak dapat dibantah oleh siapapun. Mereka cenderung memikirkan diri sendiri dan tidak menghargai perspektif orang lain. Karakteristik seperti ini memaksakan pendapat yang hanya berdasarkan pengalaman pribadinya, tanpa melihat adanya perbedaan di sekitar.
Kadang, empati dihilangkan demi popularitas. Ada orang yang “haus validasi” walaupun sebenarnya mereka masih kekurangan edukasi dan informasi terkait isu sosial. Hal ini didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Mereka menganggap netizen adalah orang bodoh yang mudah terbawa arus sehingga tidak penting untuk mempertimbangkan dampak kedepannya.
Jangan Mudah Terpengaruh Orang Lain
Pendapat yang dilontarkan oleh orang tone deaf tidak jarang menyebabkan kesalahpahaman bagi banyak pihak. Informasi yang disampaikan tidak sesuai fakta sehingga orang yang mempercayainya akan terbawa pola pikir yang salah. Mendengarkan orang tone deaf yang terus mencari sensasi sangat tidak bermanfaat dan hanya membuang-buang waktu karena tidak menambah wawasan apapun. Omongannya tidak berisi dan lebih fokus pada kontroversi. Hasilnya, sering kali netizen tersulut emosi dan malah mengabaikan isu yang seharusnya dibahas. Orang itu akan semakin untung, tetapi permasalahan yang lebih mendesak tetap tidak terselesaikan.
Jika terbiasa mendengarkan pendapat orang yang tidak peka, maka kita juga akan menjadi tidak peka terhadap realita di masyarakat akibat keterbatasan perspektif. Secara tidak langsung, kita juga berpotensi menjadi penyebar informasi palsu yang merugikan orang lain.
Dengan demikian, kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Perspektif setiap orang memang berbeda-beda, tetapi tidak semuanya merupakan hal yang benar. Walaupun perilaku orang lain tidak bisa dikontrol, tetap perlu upaya untuk menjadi netizen yang tidak mudah percaya dan terbawa omongan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H