Mohon tunggu...
Dwi Purnawan
Dwi Purnawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya adalah seorang pegiat literasi digital dan jurnalis di salah satu media online lokal di Jawa Timur

Lifetime learner | be a super dad | online jurno

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Politik Kebebasan Ala Sepak Bola

9 Juli 2012   18:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_199698" align="alignright" width="300" caption="DI Natale"][/caption]

Hegemoni hajatan besar Piala Eropa baru saja berakhir sepekan lalu dengan menghasilkan Spanyol tetap mendapatkan predikat sebagai raja sepakbola, setelah sebelumnya berhasil menjuarai Piala yang sama 4 tahun silam dan juga piala dunia 2010. Spanyol berhasil menjadi juara setelah kita sama – sama mengetahui berhasil menghempaskan permainan atraktif Squadra Azzura 4-0. Sebuah skor yang cukup mencolok memang, tetapi hal tersebut seakan memberikan bukti betapa strategi false 9 yang diterapkan oleh Vicente Del Bosque menjadi mimpi buruk bagi Italia di Kyiv malam itu, di awal bulan Juli.

Apapun itu, dengan dikukkuhkannya Spanyol sebagai juara eropa di perhelatan sepakbola akbar 4 tahunan di benua biru ini, kita menyaksikan tim – tim yang berhasil bermain baik dan berprestasi adalah tim – tim yang menerapkan konsep kebebasan dalam sepakbola. Italia dan Spanyol yang menjadi tim finalis adalah contoh betapa konsep brilian kebebasan ala sepakbola ini menjadi tema besar kesuksesan Sepakbola Modern.

Spanyol, sebelum menjadi raja sepakbola dunia hanyalah tim semenjana yang terengah – engah tak berdaya menghadapi raja – raja sepakbola seperti Perancis dan juga Italia. Baru setelah Luis Aragones menerapkan konsep baru dalam strategi permainan tim matador. Strategi baru yang bertemakan ‘pembebasan’ tika-tiki tersebut pada akhirnya mengantarkan Spanyol menjuarai Piala Eropa pertama kalinya. Sukses di Eropa 4 tahun lalu tersebut dilanjutkan suksesor Aragones yaitu Del Bosque di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Dengan mengusung konsep yang sama, Trofi piala dunia pun akhirnya sah menjadi milik Spanyol.

Yang mencengangkan tentu adalah keberhasilan Spanyol menjuarai Piala Eropa kedua kalinya di Polandia-Ukraina tahun ini. Keberhasilan itu bukan terletak pada strategi tiki-taka Spanyol yang sudah menjadi trade mark dalam 4 tahun terakhir. Akan tetapi yang menarik adalah keberanian Del Bosuque menerapkan strategi false9, yang menumpuk 6 gelandang tanpa striker murni. Strategi yang pada awalnya menuai kritik dari banyak kalangan ini akhirnya diakui sebagai strategi terbaik dan menemukan momentum terbaik, sehingga pada akhirnya membawa Spanian kembali menjadi jawara sepakbola.

Strategi false9 yang diterapkan oleh Del Bosque ini saya sebut dengan strategi politik pembebasan spekabola. Betapa tidak, disaat para pelatih lain masih menggunakan pola lama dengan striker murni, Bosque justru mencoba berfikir diluar kotak. Menerapkan startegi menumpuk 6 gelandang dan sekaligus sebagai striker. Kita menyaksikan gelandang – gelandang bernaluri membunuh seperti Iniesta, Fabregas, dan Silva dipadukan dengan sang kreator seperti Xavi dan Busquets, dan ditambah sang jagal dari Madrid, Xabi Alonso, cukup membuat publik terhenyak, betapa strategi ini sangat membahayakan bagi lawan. Para gelandang tersebut diberikan kebebasan untuk berkreasi, menari – nari indah, melakukan orkestra sepakbola yang luar biasa, tika – tiki berpadu kecepatan para pemain seperti Jordi Alba, Fabregas, dan Iniesta pada akhirnya berhasil mengakhiri petualangan tim kejuatan Italia di Final.

Satu lagi contoh yang membuktikan betapa politik pembebasan dalam sepakbola modern menjadi strategi brilian dalam menampilkan permainan cantik nan menawan dengan hasil akhir yang optimal. Adalah tim Italia, yang semula tidak diperhitungkan mampu menembus babak final, pada akhirnya berhasil membuktikan kepada publik bahwa masih ada Italia sebagai salah satu kiblat sepakbola dunia. Tim dengan kebiasaan gaya bermain catenaccio ini, pada perhelatan akbar Euro kemarin, membalikkan prediksi banyak kalangan yang melihat bahw Italia akan bermain dengana pola catenaccio seperti kebiasaan mereka. Tim ini bermain sangat atraktif sepanjang turnamen dengan memadukan metronom seperti Pirlo dan Montolivo, pun dengan sang jagal Der Rossi dan Motta, dipadukan dengan visi permainan yang bagus dari seorang Antonio cassano dan kegarangan Mario Balotelli di lini depan.

Tim ini, terlepas dari kekalahan dari Spanyol, bermain sangat atraktif, mendominasi permainan, dan pada akhirnya berhasil meraih hasil optimal. Kita tentu masih sangat teringat kala Italia bertemu dengan Inggris di perempat final. Dua tim yang dari prediksi dan kenyataan sangat berbanding terbalik. Inggris yang mengusung konsep kick and rush dengan model serangan cepat, dari kaki ke kaki, malam itu dibuat tak berkutik oleh permainan aktarktif Italia yang dimotori Pirlo dan De Rossi. De Rossi ibarat batu karang yang dengan sigap menahan laju bola dari Lampard dan Gerrard. Sedangkan malam itu Pirlo dengan leluasa mengendalikan permainan, menjadi konduktor orkestra sepakbola yang pada akhirnya membawa Italia menemukan keadilannya malam itu. Klimaksnya adalah saat Pirlo melakukan penalti dengan penuh gaya, yang meruntuhkan mental anak – anak Inggris. Di Semifinal, kita juga masih menyaksikan Italia bermain dengan penuh determinasi, sehingga tim yang diprediksi menjadi penguasa turnamen, Jerman, pad akhirnya dibuat kecewa dengan dua gol dari Mario Balotelli.

Dua tim terbaik yang menampilkan permainan terbaiks epanjang turnamen pada akhirnya bertemu di final, dan pada kahirnya pulalah tim dengan permainan terbaik di final berhasil menggenggam trofi eropa. Spanyol dan Italia. Dua tim terbaik eropa kemarin memberikan pengajaran betapa politik kebebasan dalam sepakbola menjadi kunci sukses mereka. Dan salah satu kunci kesuksesan kedua tim tersebut adalah faktor pelatih. Cesare Prandelli dan Vicente Del Bosque, dua pelath yanag sama – sama menerapkan politik kebebasan dalam sepakbola, meskipun dengan cara yang berbeda.

Dengan adanya politik kebebasan itu, msayarakat dunia menjadi terhibur, sepakbola bukan hanya persoalan mencetak gol, tetapi bagaimana mengembalikan sepakbola kepada substansinya. Kepada nilai utamanya, yaitu permainan menghibur, atraktif, bebas, dan pada akhirnya berujung kepada kemenangan yang diharapkan. Sepakbola Italia dan Spanyol dalam ajang Euro kemarin telah membuktikan itu. Sepakbola tidak kehilangan jati dirinya, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, bahwa tim – tim yang mengadopsi permainan pragmatis akan menuai sukses layaknya Chelsea kemarin. Dan sepertinya dalam Euro kemarin hendak ditiru oleh Inggris dan Belanda, tapi ternyata kedua tim itu gagal total.

Dan kedepan, publik, termasuk saya akan meramalkan bahwa tim – tim yang mengadopsi politik pembebasan akan menuai sukses dalam jagad sepakbola. Kita lihat saja. Dan berhati – hati bagi tim yang masih mengandalkan pola pragmatis dalam meraih hasil akhir, tahun –tahun kedepan adalah tahun kehancuran model ini. Dengan adanya politik kebebasan ala sepakbola ini, kita akhirnya sadar dan akan tersenyum kembali, sepakbola telah kembali ke tempat semula. Sepakbola penuh nilai.

Dwi (Pendukung Gli Azzuri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun