Mohon tunggu...
Dwi Purnawan
Dwi Purnawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya adalah seorang pegiat literasi digital dan jurnalis di salah satu media online lokal di Jawa Timur

Lifetime learner | be a super dad | online jurno

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mereka Belajar dari Keterbatasan

20 Maret 2012   01:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:45 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa pagi (19/03), sebelum berangkat ke ladang amal di Salatiga, pagi ini saya ingin sedikit saja bercerita

[caption id="attachment_177293" align="alignright" width="300" caption="Saya dan Slamet"][/caption]

tentang dua orang yang berbeda, baik dalam ruang, waktu, maupun konsep yang dibawanya untuk mengarungi kehidupan ini. Namun dari keduanya memiliki kesamaan, yaitu mereka terbatas, tapi juga tak menyerah. Yang pertama adalah Sayyid Qutb, dan yang kadua adalah Slamet. Walaupun keduanya berasal dari waktu dan ruang, serta zaman yang berbeda, namun keduanya, hari ini mengingatkan khususnya kepada saya, untuk mencipta energi dan kekuatan yang bersumber dari keterbatasan. Mari kita kupas tentang energi maha dahsyat yang mereka miliki yang bersumber dari keterbatasan, dari kekuatan kesungguhan, dan pada akhirnya melahirkan karya – karya besar nan menyejarah dalam dunia mereka dan dunia kita.

Yang pertama adalah Sayyid Qutb, beliau adalah seorang ulama besar yang karya – karya menyejarahnya kini menjadi rujukan bagi aktivis muslim didunia. Sedikit bercerita, bilau lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang sangat bagus. Singkat cerita, akibat idealisme yang beliau usung dalam mempertahankan konsepsi dan kebenaran Islan ditengah nuansa pragmatisme dan sekulerisme yang melanda pemerintahan, beliau dipenjara oleh pemerintah Mesir kala itu. Dan masuk keluar, keluar masuk jeruji besi sudah menjadi agenda beliau karena beliau dikatakan menentang pemerintahan Mesir. Tetapi hal itu tak membuat beliau surut dalam berkarya, dan akhirnya karya – karya menyejarah berupa buku ia tuliskan justru ketika hidupnya dalam keadaan terbatas, berada dibalik jeruji besi.

Karya – karya besar nan monumental itu sampai sekarang masih dibaca dan dijadikan referensi gerakan bagi aktivis muslim diseluruh dunia, seperti tafsir Fii Zilalil Qur’an, Ma’alim Fii At Thariq, dan kitab – kita haroki lainnya, dan pada akhirnya, meski usianya hanya sampai pada pada tanggal 29 Agustus 1969, yaitu dieksekusi mati oleh  algojo-algojo pembunuhnya, namun karyanya begitu tak lekang oleh zaman, menyejarah, sampai kini, sampai kapanpun. Ditengah keterbatasan beliau, disiksa oleh rezim otoriter, dipenjara dipenjara, dan ditekan oleh kebijakan pemerintah diktator, tetap tak menghentikan kary a – karya besar beliau untuk Islam, agama yang dicintainya. Ditengah keterbatasan beliau mampu mencipta sejarah. Dan pada akhirnya, Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu, saat beliau menulis tulisannya didinding penjara, mengapa aku dihukum mati.

Yang kedua, dia berbeda sama sekali dengan Sayyid Qutb, dan berada diruang dan zaman,s erta waktu yang berbeda pula. Namun hari ini, ketika saya berdialog dengannya, menimbulkan ketakjuban yang tersendiri untuknya, ditengah keterbatasannya, beliau mampu menoreh prestasi – prestasi gemilangnya. Namanya Slamet, dia adalah salahs atu Mahasiswa Jurusan IKOR FIK Unnes. Saya bertemu dengannya ketika saya memandu acara Mahasiswa Bidik Misi, dua pekan lalu di Bandungan, kabupaten Semarang. Dan kebetulan dia juga adik kelas saya di FIK Unnes, sehingga bisa bercerita banyak.

Slamet, begitu naman panggilannya, dari raut wajahnya tak menyiratkan kesedihan sama sekali walaupun satu tangannya tak ada, alias cacat. Justru yang saya dapat dari dia adalah tentang prestasinya yang menorehkan perunggu cabang atletik  Lompat gawang di Paralympic Games, sebuah ajang olahraga bagi atlet – atlet cacat, yang  belum lama ini diadakan di Solo, dan Slamet adalah salah satu kontingen yang mewakili Jawa Tengah dalam ajang tersebut. Hasilnya, perunggu, satu prestasi yang menurut saya begitu gemilang. Luar biasa, ditengah keterbatasan fisik yang dimiliki, dia mampu mencipta sejarah. Luar biasa.

Saya pun  menjadi sangat malu dan merasa bahwa selama ini keangkuhan begitu menguasai sebagian besar jiwa saya, sehingga yang seharusnya tak ada halangan untuk menyejarah, pada akhirnya belum bisa menghasilkan satu karya yang bermanfaat. Dua orang yang pagi ini menginspirasi saya untuk berkarya.

Sekali lagi, ditengah keterbatasan keduanya, Sayyid Qutb dan Slamet, ada satu kesamaan dari mereka. Yaitu tentang energi dan kekuatan maha dahsyat yang dihasilkan dari sikap kesungguh – sungguhan dalam segala aktivitas kita. kalau dalam bahasa Negeri 5 menara, istilah ini dinamakan dengan Man Jada wa Jadda, barang siapa bersungguh – sungguh, dia akan berhasil. Dan dua orang itu, ditengah keterbatasan waktu, ruang, dan fisik yang mereka alami, mereka mampu mencipta sejarah, mereka menjadi besar dan menyejarah. Lalu, bagaimana dengan kita?

Oleh : RM Panji Anom Kaliwinong

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun