Mohon tunggu...
Dwi Purnawan
Dwi Purnawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya adalah seorang pegiat literasi digital dan jurnalis di salah satu media online lokal di Jawa Timur

Lifetime learner | be a super dad | online jurno

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Baso Namanya, Asalnya Gowa, Visinya Mendunia

17 Maret 2012   17:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:54 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Film Negeri 5 Menara, kita mengenal satu tokoh yang mempunyai karakteristik yang cukup Unik.

[caption id="attachment_176945" align="alignleft" width="300" caption="Baso"][/caption]

Baso namanya. Baso Shalahudin nama lengkapnya. Asalnya dari Gowa, satu daerah diwilayah kepulauan Sulawesi. Dalam film tersebut, dikisahkan Baso yang berperawakan lebih pendek dari teman – temannya yang lain, memiliki kelebihan, yaitu bacaan Al – Qur’an nya yang bagus, dan inilah yang membuat teman – temannya yang lain merasa sangat sedih saat Baso meninggalkan Pondok Madani dan kembali ke Gowa. Selain kelebihan membaca Al – Qur’an, Baso dikenal juga cukup lucu dan sering membuat teman – temannya yang lain tergelak melihat dan mengamati tingkahnya yang unik dan lucu. Pernah suatu ketika, Baso yang lucu ini terlambat datang ke masjid mengikuti Shalat berjamaah dan dia pun lari pontang – panting sampai sarungnya pun dikasih ikat pinggang, juga saat dia sulit sekali mengucap kata dalam bahasa Inggris dalam satu sesi pelajaran kelas, sehingga karena kejadian ini, membuat teman – teman sekelas tertawa dan menertawakannya.

Namun, Baso adalah seorang yang tak kenal menyerah, dia adalah seorang visioner, dia adalah sosok yang mampu menginspirasi teman – temannya yang lain untuk tetap bermimpi dan memiliki visi mendunia. Saya jadi teringat salah satu adegan film saat para sahibul menara ini berkumpul didekat menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ada yang ke Amerika, ada yang ke Afrika, ada yang ke London, dan mereka sat itu begitu optimis akan mimpinya. Mereka begitu optimis menantang zaman dan mewujudkan visi mendunianya itu, karena prinsip yang mereka yakini adalah, jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Dan Baso Shalahudin, adalah satu dari enam orang yang mempunyai visi mendunia itu.

Baso yang pantang menyerah, inilah yang menjadikan para sahibul menara merasa begitu kehilangan saat baso memutuskan untuk kembali kekampung halamannya, padahal saat itu adalah saat sibuk – sibuknya sahibul menara mempersiapkan sebuah Lomba. Saya jadi teringat saat Baso pertama kali masuk kelas dan dia tidak bisa berbicara bahasa Inggris, dia tidak menjadi turun semangat tatkala memiliki kelemahan tidak bisa bahasa Inggris, justru semangatnya untuk mengejar ketertinggalan dalam berbahasa Inggris semakin tinggi, hingga pada akhirnya, baso pun berhasil ikut Lomba pidato berbahasa Inggris dan mendapatkan prestasi terbaik, tentu dengan bantuan teman – temannya di Sahibul menara yang lain, dan juga bantuan ‘boneka bola berdasi’ sebagai pemicu semangat Baso untuk memenangkan lomba.

Ada beberapa hikmah yang bisa kita peroleh dari sosok Baso Shalahudin, pemuda dari Gowa yang pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan studinya di Pondok Madani karena harus pulang kampung menjaga dan merawat neneknya yang sakit. Tentang visinya yang mendunia ditengah keterbatasan dirinya. Ya, baso adalah orang yang memiliki keterbatasan, karena sudah tidak punya bapak dan ibu, tetapi hal itu tak menghalangi niatnya untuk mengarungi dunia dan seisinya. Seperti idolanya, Ibnu Batuttah, diapun melanglang buana sampai ke negeri dimana di bertemu dengan para visioner – visioner lainnya, pondok Madani.Belajar bersama, dan bermimpi bersama, inilah yang dilakukan Baso bersama sahibul menara yang lainnya. Bermimpi untuk mendunia, ditengah pesimisme dan kondisi terbatas yang membersamai mereka.

Inilah yang saya kira kembali perlu kita budayakan dan kita interanlisasikan kedalam jiwa kita. Bermimpi dan bervisi. Ditengah pesimisme akan kembalinya bangsa ini ke puncak kejayaannya, kita tetap membutuhkan sosok – sosok Baso yang memiliki keyakinan akan visi dan mimpinya untuk mendunia. Ditengah pesimisme akan kembalinya Indonesia ke puncak kejayaannya, wajib untuk kita gelorakan kembali sikap pantang menyerah dan visioner seperti yang ditunjukkan Baso Shalahudin dan rekan – rekannya di Sahibul Menara. Sebab menurut salah satu tokoh Besar china, Li Ka Shing, Visi bisa jadi adalah kekuatan terbesar kita. Ia selalu membangkitkan daya dan kesinambungan hidup, ia membuat kita memandang masa depan dan memberi kerangka tentang apa yang belum kita ketahui. Hal inilah yang membuat Baso merasa sudah mengetahui ujung dunia, karena visi-lah, akhirnya dia bisa mendunia, semangatnya mengangkasa. Seperti perkataan dia dan teman – temannya sore itu,sambil menatap awan yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing, kata mereka , ”jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun, karena Tuhan maha mendengar”.

Mari mendunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun