Mohon tunggu...
Rohmatulloh DwiPurnama
Rohmatulloh DwiPurnama Mohon Tunggu... Guru - pemalas

Libur dari liburan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendaki Gunung, Bentuk Refleksi Sekaligus Arena Eksistensi

17 April 2020   21:00 Diperbarui: 17 April 2020   21:08 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendakian gunung Merbabu

Siapa yang tidak mengetahui film 5cm, sebuah film petualangan sekelompok sahabat yang merasa bosan dengan kehidupan yang gitu-gitu aja, sehingga mereka keluar dari zona tersebut untuk melakukan petualangan mendaki gunung Semeru. Sebuah pendakian yang mereka rasakan sebagai pintu keluar sekaligus awal dari perubahan dalam menjalani kehidupan yang baru. Setelah pendakian tersebut banyak hal baru yang bisa mereka lakukan diluar dari kegiatan persahabatannya. Namun yang saya kritisi dari film ini adalah kurangnya mencontohkan bagaimana etika dan SOP mendaki yang seharusnya dilakukan, sehingga ini menjadi penyebab banyaknya pendaki yang kurang siap secara mental, fisik, pengetahuan, hingga peralatan yang pada akhirnya menjadi titik awal maraknya kasus kecelakaan hingga kematian yang terjadi pada saat mendaki gunung. Kemudian apa hubungannya dengan tulisan ini? Ya, film ini menjadi salah satu referensi dari banyaknya orang untuk turut mendaki gunung. Namun sebenarnya hal ini bukan menjadi aspek utama yang menjadi penyebab banyaknya orang-orang mendaki gunung. Kemunculan internet menjadi aspek utama dalam penyebaran virus-virus mendaki gunung. Pasalnya, sebelum film ini ditayangkan pun sudah banyak orang-orang melakukan kegiatan ini, kemudian melalui internet kegiatan tersebut terekspose keberadaannya sehingga dapat menggugah banyak orang untuk juga melakukan kegiatan ini. Bagaimana tidak menggugah, unggahan-unggahan yang tersebar diberbagai platform internet mengakibatkan para penikmatnya turut ingin merasakan sensasi sesuai dengan apa yang ada pada unggahan tersebut. Kemajuan internet memberikan warna baru didalam dunia pendakian, selain memudahkan mencari informasi seputar pengetahuan pendakian juga menjadi tempat berbagi pengalaman melalui unggahan kegiatan pendakian yang telah dilakukan. Selain itu, internet juga telah banyak digunakan oleh petugas dibeberapa Balai Taman Nasional sebagai media pendaftaran atau registrasi online seperti yang dilakukan pengelola Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTNBTS), Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM), dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC). Kegiatan mendaki gunung memang diperuntukan untuk siapa saja tanpa terkecuali, asalkan mampu secara fisik, mental, pengetahuan, serta peralatan yang bisa menunjang kegiatan pendakian. Pasalnya, kegiatan ini sangat memerlukan persiapan yang matang agar tidak terjadi hal-hal yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kemudian pertanyaannya, untuk apa kamu mendaki gunung?

Dipendakian yang pernah saya lakukan, saya kerap menemukan banyak kawan baru, pengalaman baru, cerita baru, hingga pacar baru (ehh ngga deng, ga pernah) yang bisa memberikan energi positif didunia pendakian. Pernah suatu ketika saya berbincang dengan seorang kawan baru digunung Merbabu, ketika sedang asik berbincang ngalor-ngidul terselip sebuah perkataan "pendakian ini terasa membosankan, bagaimana tidak, setiap bertemu dengan orang baru dan berbincang saya selalu mendengarkan obrolan yang menceritakan rentetan daftar gunung yang telah didakinya". Dari perbincangan ini saya kaget sekaligus berpikir apakah pendakian yang dilakukan ini salah?. Namun setelah berpikir panjang, bukan soal kegiatan mendaki yang salah, tetapi soal bagaimana para pendaki yang sering membanggakan dirinya atas berbagai pencapaian dalam menaklukan gunung di Indonesia. Jika begitu maka proses pendakian akan terasa kurang bermakna dan justru akan memunculkan kesan negatif atas apa ynag disombongkan. 

Terkadang manusia memang sukar dalam melihat kekurangan diri. Seperti halnya saya, setelah merenung dan berpikir justru saya menyadari bahwa saya juga sering bercerita kepada orang-orang tentang pencapaian yang telah saya lakukan dari kegiatan mendaki gunung. Lucu memang, bisa menghakimi orang lain tanpa melihat keadaan diri sendiri.

Belakangan ini kegiatan pendakian dilakukan hanya untuk bersenang-senang, dan setiap hal dalam perjalanan pendakian di dokumentasikan untuk diunggah dimedia sosial. Hal ini memang tidak salah, tetapi kita justru hanya akan fokus pada pencarian spot untuk berfoto, bukan untuk menikmati setiap langkah perjalanan yang justru mengandung banyak nilai dan makna yang disa dipetik. Mendaki gunung bukan sekedar untuk mendapatkan hasil dokumentasi yang bisa dipertontonkan kepada orang banyak. Namun bagaimana setiap hal yang dilalui semenjak berangkat dari rumah, diperjalanan, dalam setiap langkah yang menapak dijalur pendakian, hingga dalam setiap tanjakan terjal yang mesti kita lalui untuk menuju puncak gunung. Hal ini nisa kita nikmati secara sederhana tetapi tetap bermakna. Tanpa disadari pun kita bisa memetik makna dari alam tempat kita menjelajah yaitu bagaimana kita memberikan bentuk penghormatan kepada makhluk hidup baik tumbuhan maupun hewan dengan tidak merusaknya. Karena alam telah memberikan banyak penghidupan kepada kita maka seyogyanya kita bisa menjaga lingkungan agar tetap lestari. Saya kira ini merupakan bentuk penaklukan yang sangat konkrit, yaitu menaklukan ego diri sendiri. Seorang sahabat pernah berkata "yang mesti ditaklukan itu bukan alam atau gunung, tetapi ego diri sendiri". Sebenarnya jika kita mau merenung dan berpikir bahwa kita bisa mendapat makna dari apa yang kita lalui selama pendakian, entah dari orang-orang yang kita temui dijalur pendakian, warga lokal, perjuangan kita dalam melewati rintangan dan tantangan, hingga dari daun yang berguguran, pepohonan, dan hewan-hewan. Semua itu bisa kita maknai asalkan kita mampu membuka mata hati kita agar makna tersebut bisa masuk. Sangat disayangkan apabila usaha, waktu, dan apa-apa yang telah kita keluarkan hanya beberapa foto dan setitik kesombongan yang didapat.

Inilah bentuk eksistensi dari manusia, mengapa? Karena manusia mendahulukan eksistensi daripada esensi, esensi dibentuk dari tindakan eksistensi. Jika kita ingin disebut pendaki maka mendakilah dengan penuh arti dan penuh makna. Pendaki itu tidak merusak alam dan tidak buang sampah sembarangan, jika kita masih merusak alam dan masih buang sampah sembarangan maka bukan bentuk dari seorang pendaki. Esensi pendaki ini terbentuk dari perilaku eksistensi yaitu berprilaku sopan terhadap alam. Dari kegiatan ini memiliki andil yang cukup besar terhadap perubahan dalam menjalani hidup. Seperti halnya mendaki gunung, hidup juga harus memiliki target dan tujuan. Namun sebelum menggapai tujuan tersebut, ada hal yang harus diprsiapkan secara matang sebagai bekal agar tujuan yang hendak dicapai menjadi lebih mudah dan terarah. Didalam menggapai tujuan itu tidak serta-merta akan mudah dan sesuai rencana, tetapi akan ada banyak tantangan dan rintangan tak terduga yang bisa menghambat proses pencapaian tujuan tersebut. Namun, dengan adanya tantangan dan rintangan tersebut akan memberikan warna dalam kehidupan kita.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberi justifikasi yang salah terhadap pendaki yng hanya sekedar menambah kesombongan diri atas pencapaiannya dalam menaklukan gunung, atau pada pendaki yang hanya bersenang-senang mendokumentasikan kegiatan mendakinya. Tetapi tulisan ini menjadi bentuk refleksi dari apa yang telah saya pikirkan dan renungkan. Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan, semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Tetap jaga kelestarian lingkungan bumi ini.

SALAM LESTARI!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun