Era digital kini telah banyak mengubah sisi kehidupan sosial masyarakat. Di tengah arus informasi dan komunikasi yang semakin mudah,  hal ini turut berkorelasi dengan meningkatnya jumlah konten yang kian beragam karena hampir semua hal kini bisa jadi bahan konten khususnya di laman social media. Hal itu juga berefek pada menjamurnya content creator baik di kalangan anak muda hingga orang dewasa. Â
Saat pandemi melanda, dimana hampir segala lini melakukan interaksi secara online. Social media makin menjamur dan menjadi perantara orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Jumlah content creator pun kini tak sebatas profesi yang digeluti oleh seorang expert dalam bidang tersebut namun juga mereka yang baru terjun tak terkecuali dikalangan ibu rumah tangga. Munculnya para ibu yang terjun ke dunia content creator sebenarnya bukanlah hal baru, namun fenomena ini makin menjamur saat Facebook meluncurkan fitur Facebook profesional yang bisa dimonetisasi alias menghasilkan cuan.
Banyak orang kemudian tergiur dan berbondong-bondong untuk membuat konten. Namun yang disayangkan, belakangan konten yang ada hanya sekedar untuk mengejar target jam tayang demi bisa menghasilkan cuan. Saya bukan sedang julid pada sebagian ibu-ibu yang berbagi konten lewat kehidupan sehari-hari atau konten hiburan. Namun kita yang terjun harus melihat dan memahami apa yang kita lakukan tentu akan berefek tak hanya bagi si content creator tapi juga pada orang yang menontonnya.
Survey APJII (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) menunjukkan bahwa di
Indonesia penetrasi pemanfaatan internet pada tahun 2023 telah mencapai 78,19 persen atau
menembus 215.626.156 jiwa dari jumlah penduduk sebanyak 275.773.901 jiwa.
Â
215 juta jiwa bukanlah jumlah yang sedikit. Data diatas menunjukkan bahwa internet kini hampir secara merata bisa diakses oleh siapapun. Kita pasti paham bahwa apa yang kita lihat akan mengubah cara pandang dan tingkah laku kita. Jika dominasi pemanfaatan internet lebih banyak digunakan untuk melihat tontonan social media yang sekedar hiburan lalu bagaimana kedepan kita bisa berpikir untuk meningkatkan kecerdasan generasi.
Apa yang saya pikirkan mungkin terlalu jauh, sebab beberapa dari kita menganggap itu adalah hal biasa dan patut diapresiasi. Kalangan ibu-ibu jadi bisa lebih produktif karena aktivitasnya ternyata bisa menghasilkan uang. tak hanya itu tapi juga 'teman baru'. Â
Terlebih dari dulu saat internet masih terbatas dikonsumsi oleh orang-orang tertentu, televisi telah menghadirkan ragam tontonan hiburan. Namun kita patut khawatir saat informasi dan komunikasi bisa terjalin tanpa batas apalagi jika yang menonton adalah generasi muda kita yang kelak menjadi penerus negeri ini.
Generasi muda akhirnya mencukupkan diri pada hal yang sifatnya menghibur. Di tengah kehidupan hari ini yang kian sulit, tentu hiburan adalah penawar yang bisa menghilangkan kepenatan dan stress pada rutinitas. Belajar dan mencari ilmu menjadi hal yang membosankan dan tak jadi fokus perhatian. Tentu hal ini tak lepas dari konten-konten yang sebatas pada konten yang menghibur.
Dalam laporan hasil survei Populix yang bertajuk Omnichannel Digital Consumtion Report 2023, sebanyak 76% responden paling sering mengakses konten hiburan di media sosial, baik itu berupa foto maupun video.
Sebenarnya memang tak salah dengan adanya konten hiburan. Namun hal ini jangan sampai menghilangkan nilai dari konten yang ada. Sebab yang paling penting dari sebuah konten adalah value atau nilai yang dihadirkan ke tengah-tengah publik. Jangan sampai konten yang membawa edukatif dan informatif justru makin tergeser.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H