Mohon tunggu...
Dwi Prayanti
Dwi Prayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa program studi pendidikan guru sekolah dasar dan hobi ataupun fashion saya dalam bidang memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tri Hita Karana: Filosofi Kehidupan untuk Harmoni dan Kehidupan

17 Juni 2024   16:50 Diperbarui: 17 Juni 2024   16:59 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejarah Tri Hita Karana (THK) berawal dari embrio zaman prasejarah yang dipengaruhi oleh agama Hindu di Bali. Konsep ini menggambarkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alam. Istilah THK pertama kali dicetuskan pada Konferensi Daerah I Badan Pekerja Hindu Bali pada tanggal 11 November 1966 oleh Dr. I Wayan Merta Suteja. Filosofi THK melintasi agama-agama formal di Indonesia, seperti Hindu, Kristen, Islam, Buddha, dan Konghucu, dengan fokus pada keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo memperkenalkan filosofi THK pada Forum Tri Hita Karana, dengan menekankan pentingnya keharmonisan untuk pembangunan berkelanjutan dan kebahagiaan. Kesimpulannya, filosofi Tri Hita Karana merupakan hasil sejarah dan pengaruh agama Hindu di Bali yang diadopsi sebagai kearifan lokal, menekankan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alam untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Diperkenalkannya nilai-nilai Tri Hita Karana di forum-forum internasional menunjukkan relevansi dan potensinya sebagai landasan bagi pembangunan berkelanjutan dan kebahagiaan manusia.

Ajaran Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup masyarakat Bali yang mendasarkan kehidupan manusia pada tiga aspek penting, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, serta manusia dengan alam semesta. Meskipun berasal dari Bali, konsep ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk di seluruh Indonesia. Di Bali, sebagai asal mula ajaran Tri Hita Karana, masyarakatnya secara khusus mengamalkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari . Mereka menaruh perhatian pada keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan (parhyangan), hubungan dengan manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam (palemahan).

 Ritual dan upacara adat di Bali kerap kali mencerminkan prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Masyarakat Minangkabau yang mayoritas beragama Islam memiliki sistem nilai yang mencerminkan prinsip-prinsip keseimbangan dan keselarasan dalam Tri Hita Karana. Mereka memperhatikan hubungan dengan Tuhan melalui peribadatan, menjaga keharmonisan hubungan sosial dengan melaksanakan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat istiadat yang berlandaskan syariat Islam), dan memperhatikan keseimbangan dengan alam melalui praktik pertanian tradisional dan pengelolaan lingkungan. Konsep Tri Hita Karana juga tercermin dalam tradisi keagamaan masyarakat Sunda seperti upacara adat dan ritual kebersihan. 

Masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang lemah lembut, religius, dan sangat spiritual. Alam Parahyangan, tempat tinggal para Hyang atau Dewa yang diyakini oleh masyarakat Sunda, juga memperlihatkan keindahan alamnya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dalam ungkapan silih asih, silih asah, dan silih asuh; saling menyayangi (mengutamakan kasih sayang), saling menyempurnakan atau memperbaiki (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (menjaga keselamatan). Bahasa Sunda juga memiliki sejumlah nilai lain seperti sopan santun, rendah hati terhadap orang lain, menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda. Dalam budaya Sunda, keseimbangan magis dijaga dengan melaksanakan upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda saling bahu-membahu menjaganya. Keterhubungan dengan alam semesta tercermin dalam penghormatan terhadap alam, seperti dalam upacara yang melibatkan pertanian.

Dalam masyarakat Batak, konsep Tri Hita Karana tercermin dalam kepercayaan kepada Tuhan yang disebut Debata, serta nilai-nilai seperti gotong royong, kejujuran, dan penghormatan kepada leluhur. Keterhubungan dengan alam tercermin dalam adat istiadat yang terkait dengan pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. Di Papua, konsep Tri Hita Karana terdapat dalam kehidupan masyarakat adat, di mana mereka mempercayai roh leluhur dan Tuhan pencipta alam semesta. Hubungan dengan sesama manusia tercermin dalam nilai-nilai yang dianut bersama dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan hubungan dengan alam semesta tercermin dalam gaya hidup yang berkelanjutan, termasuk memanfaatkan sumber daya alam. 

Suku Sasak di Pulau Lombok juga memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan konsep Tri Hita Karana. Hubungan dengan Tuhan tercermin dalam berbagai kepercayaan dan adat istiadat suku Sasak seperti animisme dan adat Bau Nyale. Suku Sasak menganut animisme, yaitu kepercayaan bahwa semua benda, makhluk, dan fenomena alam memiliki roh atau kekuatan spiritual. Mereka percaya bahwa alam semesta dihuni oleh banyak roh yang harus dihormati dan diberi sesaji. Kepercayaan ini tercermin dalam berbagai ritual dan upacara adat suku Sasak. Salah satu contoh kepercayaan animisme suku Sasak adalah "pejineman", yaitu ritual pemberian sesaji kepada roh leluhur. Sesaji berupa makanan, minuman, dan kemenyan diberikan dengan tujuan untuk memohon perlindungan, rejeki, dan keselamatan. Kepercayaan animisme masyarakat Sasak mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan roh-roh yang ada. Hubungan dengan alam tercermin dalam tradisi pertanian dan perikanan, serta dalam perlindungan lingkungan alam.

Manusia sebagai homo empiricus mengandalkan pengalaman sebagai sumber pengetahuan dan pedoman dalam bertindak. Pengetahuan ada tiga jenis, yaitu pengetahuan teologis, pengetahuan sosiologis, dan pengetahuan ekologis. Pengetahuan teologis berkaitan dengan pengalaman manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Pengetahuan sosiologis melibatkan pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan alam. Pengetahuan ekologis mengacu pada pengalaman manusia dalam menjaga hubungan dengan alam. Pemikiran induktif lokal melibatkan pengalaman budaya dari luar yang secara selektif dan kreatif dimasukkan ke dalam budaya lokal. THK sebagai filosofi dan kearifan lokal menunjukkan bahwa masyarakat lokal memiliki peran penting dalam mengolah pengetahuan eksternal untuk menciptakan sesuatu yang baru dan harmonis. 

Tujuan hidup yang terkait dengan THK antara lain mewujudkan harmoni teologis, sosial, dan ekologis, serta menciptakan kebahagiaan dalam hidup. Filsafat hidup THK mengacu pada upaya menjadikan manusia arif dan bijaksana melalui pemahaman yang mendalam tentang pengalaman manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Tri Hita Karana mengajarkan bahwa kebahagiaan hidup dicapai melalui keselarasan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam. Melalui pendidikan, sosialisasi, keteladanan, pembiasaan, dan pengendalian yang berulang-ulang, masyarakat secara konsisten memelihara dan mengamalkan prinsip-prinsip THK. Tri Hita Karana dibentuk oleh manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, sehingga menjadi bagian dari budaya.

Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Prinsip ini menekankan keselarasan sebagai kunci kebahagiaan dan kesejahteraan. Sementara itu, prinsip multikrasi menyoroti pentingnya menghargai dan menghormati keberagaman budaya, agama, dan kepercayaan dalam suatu masyarakat. Keduanya menunjukkan bahwa keberagaman dan keseimbangan merupakan fondasi penting dalam membangun masyarakat yang berkelanjutan dan harmonis. Dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana dan prinsip multikrasi, manusia dapat menjaga hubungan yang harmonis dengan lingkungannya dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), indikator kesejahteraan terdiri dari 11 aspek, yaitu pendapatan rumah tangga, konsumsi, kondisi tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan memperoleh pelayanan kesehatan, kemudahan pendidikan, transportasi, kehidupan beragama, rasa aman, dan olah raga. Setiap aspek memiliki indikator dan bobot yang ditetapkan oleh BPS. Keluarga dikategorikan menjadi tiga kelompok kesejahteraan, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Indikator kebahagiaan meliputi dimensi kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup. Subdimensi dan indikatornya meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan, kondisi tempat tinggal, hubungan sosial, keamanan, perasaan bahagia, tidak adanya kecemasan, kemandirian, dan makna hidup. Kontribusi indikator terhadap indeks kebahagiaan ditunjukkan dalam tabel. Semua itu digunakan BPS untuk mengukur dan memantau tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

Hubungan antara kebahagiaan dengan hidup sederhana meliputi analisis hidup sederhana dan pemenuhan kebutuhan sesuai kemampuan. Tiga pilar kebahagiaan meliputi kehidupan keluarga yang baik, lingkungan sosial yang baik, dan pekerjaan yang memuaskan. Pembahasan kata-kata bijak Konfusius: "Hidup itu sederhana, kita yang membuatnya rumit." Pengaruh lingkungan kerja terhadap kebahagiaan menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang harmonis dapat meningkatkan kebahagiaan, sedangkan lingkungan yang tidak kondusif dapat menimbulkan penderitaan. Pentingnya memilih teman dan lingkungan yang positif untuk kebahagiaan, serta hubungan dengan orang-orang yang negatif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun