Mohon tunggu...
Achmad Candra Dwinursetiadi
Achmad Candra Dwinursetiadi Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance ilustrator

internet lover

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maukah Kau Menikah Denganku?

25 Juni 2012   09:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Maukah kau menikah denganku, dan kita berdua akan hidup bahagia di bawah kolong jembatan. Berdua kita akan menikmati indahnya lagu gemericik air sungai, yang keruh dan penuh dengan sampah. Harumnya kembang malam bercampur dengan seonggok bangkai tikus got, terhirup oleh hidung kita yang tersumbat. Menikmati indahnya bintang-bintang, yang seperti titik hujan yang membasahi tubuh kita.

“Lihatlah sebuah bukit nan hijau di selatan kota dengan sebuah istana megah yang berdiri di atasnya. Sebuah istana megah yang tak tersentuh oleh tangan siapapun kecuali bagi mereka yang memiliki keyakinan kuat.

“Wahai kekasihku, tidakkah kau lihat bukit hijau di selatan sana? Indah bukan? Tidakkah tersimpan dalam hatimu keinginan untuk hijrah ke sana? Tidakkah kau lihat pula, terdapat sebuah istana yang sangat megah di sana. Istana dengan atap yang terbuat dari bintang-bintang dan cahaya rembulan. Dengan dinding yang terbuat dari batu-batu pualam dan batu-batu permata terindah yang pernah ada di dunia ini.

“Wahai kekasihku, marilah kita menuju kesana dan kita tinggalkan segala perhiasan yang menggelayuti tubuh kita. Lepaskan gelar yang akan membebani pundak kita. Tinggalkan segala kebanggaan yang akan membuat kita menjadi sombong. Kenakanlah pakaian ihrom kita yang putih bersih dan sederhana itu.

“Wahai kekasihku, genggamlah tanganku dengan erat, seerat mungkin kau mampu melakukannya. Karena aku tak ingin kita terpisah ketika badai datang dan berusaha memisahkan kita. Bersabarlah dan kuatkanlah hatimu. Karena perjalanan ini akan melaluisemak-semak berduri yang selalu berusaha untuk menggoreskan luka di hatimu. Tutuplah rapat-rapat telingamu. Karena aku tak ingin telingamu menjadi tuli karena teriakan-teriakan para pujangga dengan suaranya yang sumbang.

“Wahai kekasihku, lihatlah! Semua yang kita tinggalkan tak bisa mengikuti kita. Semua yang kita tingalkan telah menjadi sebuah rantai pengikat, yang akan menghalangi langkah kita.

“Wahai kekasihku, aku bersyukur kau memiliki keyakinan yang kuat kepadaku. Keyakinan untuk menjadikanku penuntun jalanmu dan kau telah merelakan dirimu untuk selalu berdiri di sampingku.

“Wahai kekasihku, sekarang kita telah berada di depan pintu gerbang istana megah. Kini saatnya aku meminta izin Sang Empunya untuk membuka kuncinya agar kita bisa masuk ke dalamnya.

“Menikahlah denganku, dan kita berdua akan hidup bahagia di dalam istana-Nya. Terimalah ajakanku agar kunci gerbang itu terbuka dan kita dapat masuk ke dalam istana megah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun