Mohon tunggu...
Dwi NurHidayah
Dwi NurHidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa ilmu komunikasi angkatan 2022 yang tengah menjalani tahun ke-2 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gizi Buruk dan Stunting, Cermin Krisis Akses Pangan di Pulau Asmat

6 Oktober 2024   20:35 Diperbarui: 6 Oktober 2024   20:42 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 2018, terdapat bencana gizi buruk dan stunting yang menimpa anak-anak di Pulau Asmat, sedikitnya ada 75 anak yang meninggal dengan keadaan perut yang membuncit dan tubuh dengan kondisi kurus hingga tulangnya menonjol. Bencana ini bahkan ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa oleh pemerintah Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan pun sudah dijalankan salah satunya kucuran Dana Otonomi Khusus Papua. Namun, tujuh tahun kemudian terungkap  bahwa persoalan tersebut belum teratasi dengan tuntas.

Permasalahan gizi buruk dan stunting di Pulau Asmat tidak hanya menjadi masalah kesehatan, tetapi juga sebagai potret ketimpangan akses pangan dan ekonomi di Indonesia. Kasus yang menimpa ratusan anak di wilayah ini tidak hanya mencerminkan kurangnya ketersediaan pangan, tetapi juga kompleksitas masalah ekonomi keluarga, buruknya akses transportasi, dan minimnya inovasi pangan yang sesuai dengan lokasi geografis mereka.

Pulau Asmat, salah satu wilayah di bagian selatan Papua yang tepat berada di pesisir pantai atau pinggir-pinggir sungai dengan akses daratan yang hampir nihil, membuat masyarakat Pulau Asmat kesulitan untuk berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya karena biaya transportasi laut (perahu) yang sangat mahal untuk sekali jalan bisa mencapai ratusan ribu. Terbatasnya biaya untuk mengakses transportasi, membuktikan adanya permasalahan kemiskinan struktural yang mendasari ketidakmampuan masyarakat Asmat untuk memperoleh bahan pangan yang cukup dan bergizi. Menurut Badan Pusat Statistik Provisi Papua sebanyak 24,36% Penduduk Asmat hidup di bawah garis kemiskinan, dan tingkat stunting di wilayah ini mencapai lebih dari 50%. Jauh dari batas nasional sebesar 20% menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2021. Angka ini menunujukkan adanya krisis gizi yang berkepanjangan.

Salah satu akar masalah gizi buruk di Pulau Asmat adalah ketidakmampuan ekonomi keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan bergizi. Beberapa masyarakat pedalaman kampung Asmat masih menggantungkan hidupnya pada sektor informal, seperti mencari ikan atau memangkur sagu yang tidak selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang. Pendapatan yang rendah dan tidak menentu membuat mereka kesulitan untuk membeli pangan yang layak, terutama karena harga pangan di Asmat bisa dua hingga tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan di wilayah perkotaan akibat tingginya biaya perahu sebagai transportasi utama.

Pemerintah sering kali memberikan program bantuan pangan atau tunai kepada masyarakat, namun tak jarang program tersebut tidak konsisten sampai permasalahan pangan ini menurun dan akar permasalahan teratasi. Dikutip dari wawancara BBC oleh konsultan program Bangga Papua, melalui Bangga Papua pemerintah telah mengadakan dana bantuan tunai sebesar Rp 200.000 per anak, namun saat menyambut penyelenggaraan PON XX tahun 2020 bantuan tersebut terhenti karena adanya alokasi dana untuk menyukseskan acara tersebut. Dampaknya masyarakat mulai kesulitan untuk membeli kebutuhan ibu dan anak serta pemenuhan pangan mereka. Kemiskinan yang terus mengakar di wilayah ini menjadi penghalang utama bagi masyarakat untuk memperoleh makanan bergizi.

Masyarakat pedalam di pulau Asmat, masih bergantung pada alam untuk pemenuhan pangan, Sagu dan ulat sagu serta meminum air sungai tanpa diolah, sudah menjadi bagian dari makanan sehari-hari masyarakat jika tidak memiliki pendapatan. Pola makan ini memiliki keterbatasan dalam hal keberagaman pangan dan pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang, terutama dalam asupan protein, vitamin, dan mineral. Minimnya inovasi pangan membuat masyarakat hanya memakan apa yang ada, termasuk makanan instan yang mulai menjadi kebutuhan pokok. Makanan instan ini seringkali rendah gizi dan tinggi bahan pengawet, memperparah masalah kesehatan masyarakat, terutama anak-anak yang tumbuh dalam kondisi gizi buruk dan stunting. Akses terhadap pangan bergizi seperti sayuran, buah-buahan, dan sumber protein lain hampir tidak ada, karena sulitnya pengadaan dan distribusi di wilayah pedalaman Asmat.

Selain itu keterbatasan, transportasi merupakan tantangan terbesar bagi distribusi pangan di Pulau Asmat. Letaknya yang terpencil dan minimnya infrastruktur jalan membuat akses ke wilayah ini hanya bisa dilakukan melalui jalur sungai atau laut, dengan biaya transportasi yang sangat tinggi. Akibatnya, harga pangan dari kota-kota besar seperti Timika atau Jayapura menjadi sangat mahal bagi masyarakat Asmat. Sayangnya, tidak ada subsidi khusus yang cukup signifikan untuk menekan harga pangan di wilayah ini.

Permasalahan akses pangan di Pulau Asmat menunjukkan kompleksitas yang mencakup tiga faktor utama ---fisik, ekonomi, dan sosial--- yang semuanya saling terkait dan memperparah krisis gizi yang dialami masyarakat. Secara fisik, keterbatasan infrastruktur dan sulitnya akses transportasi membuat distribusi pangan menjadi sangat mahal dan tidak merata, terutama pasar-pasar besar yang berada di Kota Agats dengan jarak paling sebentar 1-2 jam dari perkampungan. Dari segi ekonomi, kemiskinan yang melanda sebagian besar penduduk Asmat menghalangi mereka untuk membeli pangan bergizi. Sementara itu, faktor sosial, seperti rendahnya pendidikan mengenai olahan makanan bergizi, kebiasaan memakan makanan rendah gizi dan makanan instan, meperparah kondisi ini.

Masyarakat pedalaman masih bergantung pada sumber daya alam tradisional dan makanan instan yang rendah gizi, sementara inovasi pangan belum mampu diterapkan secara efektif. Tanpa adanya pendekatan holistik yang melibatkan penyelesaian masalah infrastruktur, peningkatan ekonomi lokal, serta pendidikan pangan yang berkelanjutan, Pulau Asmat akan terus terjebak dalam krisis pangan yang berdampak jangka panjang pada kesehatan generasi mendatang.

Pemerintah harus melakukan pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk pembangunan infrastruktur yang lebih baik, penyuluhan gizi secara terus-menerus, serta dukungan untuk inovasi pertanian lokal yang sesuai dengan kondisi geografis Asmat. Program pertanian di atas rawa, teknologi hidroponik, atau bahkan pengenalan tanaman lokal yang kaya nutrisi bisa menjadi solusi jangka panjang yang perlu didukung oleh pemerintah dan sektor swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun