Mohon tunggu...
dwina dolopo
dwina dolopo Mohon Tunggu... Guru - Guru

Move and Challenge Yourself

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keseruan Hujan Pertama

10 Oktober 2024   12:40 Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:52 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aroma debu yang tersiram oleh titik-titik air hujan menyeruak, menggelitik hidung. Dirga memiringkan kepalanya, berusaha keras menemukan aroma apa gerangan. Dia menyukainya namun ada perasaan sedikit tak nyaman yang menggerakkan tangannya untuk mengusap hidungnya. Tak berapa lama indera pendengarannya menangkap suara ketukan-ketukan kecil di atap. Semakin lama nadanya semakin rancak dan netranya segera menangkap aliran air yang jatuh dari ujung atap rumahnya. Hujan pertama telah turun.

Beberapa saat, Dirga mengambil napas dalam-dalam. Menghirup aroma yang segar sekaligus menyesakkan itu, namun dia suka. Senyumnya terkembang bersamaan dengan alunan napasnya. Setelah berbulan-bulan matahari menunjukkan kegarangannya kepada bumi. Kali ini rasa syukur telah digumamkan oleh semua mahluk atas harapan yang besar bersama basahnya tanah.

"Dirga .. jangan main hujan dulu ..."                     

Suara nyaring Ibu menghentikan niatnya untuk menikmati hujan dengan caranya. Padahal, kedua kakinya sudah basah dari tadi. Pemanasan sebelum dia benar-benar berlari-lari di sepanjang jalan kampung bersama teman-temannya. Dengan cemberut dia menuju sumber suara yang menegurnya.

"Kenapa, Bu tidak boleh main hujan?"

"Hujan pertama itu airnya kotor. Lihat saja debu-debu atau asap pabrik yang ada di udara itu pasti bercampur dengan air hujan. Kamu bisa gatal-gatal nanti karena airnya kotor."

"Tapi air yang jatuh bening, itu kan artinya bersih."

"Kalau kita lihat dengan mata telanjang memang sepertinya bersih, menurut yang Ibu pernah baca, udara di daerah kita itu sudah banyak tercemar oleh asap pabrik sehingga air hujan yang jatuh itu sudah bercampur dengan racun-racun di udara."

"Kalau besok-besok boleh ya Bu main hujan bersama teman-teman?"

"Iya, asal sudah beberapa kali hujan kemungkinan air yang jatuh sudah lebih bersih. Dirga boleh nanti main hujan-hujanan."

Dirga anak yang menurut. Tak perlu banyak penjelasan lagi akhirnya dia mengambil kelereng-kelerengnya dan memainkannya di sebelah Ibunya. Sengaja dia tidak membantu  mengupas kacang tanah karena dia masih menetralisir kekecewaannya karena dilarang bermain hujan. Dia menahan marahnya karena pasti apa yang dikatakan Ibunya itu untuk kebaikannya juga.

Bukan hanya Dirga yang sudah tidak sabar menikmati hujan. Di bawah tanah sana, rupanya ada yang menggeliat bangun dari hibernasinya. Biji kacang, koro, umbi-umbian dan sayur mayur mulai sadar kalau waktunya sudah tiba. Air hujan yang membasahi mereka memberi kekuatan sehingga mereka bisa memulai kehidupan baru. Tunas baru muncul di atas tanah.  

"Ibu sedang apa?" sambal mengusap-usap matanya Dirga mendekati Ibunya yang sedang di kebun sebelah rumah.

" Ayo Le, bantu Ibu. Ini biji-biji kacang, koro sudah mulai tumbuh tunas barunya. Ini gizinya banyak Le kalua dibuat masakan."

"Kenapa tidak dibiarkan tumbuh besar dan nanti bisa berbuah banyak saja, Bu?" sambal berusaha membantu mencabut tunas-tunas kecil itu, Dirga mengatakan idenya."

"Ini tumbuhnya tidak beraturan, jadi dicabut saja. Nanti akan ditanami bibit baru. Kalau menanamnya dengan jarak yang teratur maka akan tumbuh dengan baik."

 Setelah cukup banyak memanen tunas kacang-kacangan, Dirga diajak Ibunya untuk ke dekat pagar dimana ada kayu lapuk yang sudah lama teronggok. Ternyata musim hujan juga membuat jamur tumbuh di pohon lapuk tersebut. Ada jamur tiram dan jamur kuping di kayu sebelahnya. Dirga senang sekali membantu Ibu memanen jamur-jamur itu. Pasti Ibu akan membuat "botok" yaitu jamur yang dicampur dengan kelapa muda dan dibungkus dengan daun pisang. Lalu dikukus bersamaan pada saat mengukus nasi.

Tak lupa Ibu juga memetik beberapa daun kemangi yang juga mulai tumbuh bersama pohon bayam dan kenikir di sebelahnya. Betapa senangnya bisa memperoleh bahan makanan pendamping nasi dari kebun sendiri.

Terlihat juga para tetangga yang mulai menggemburkan tanah pekarangannya agar cukup subur ketika bibit-bibit sayuran nanti ditanam. Semua terlihat bersemangat dengan datangnya hujan. Hujan berarti harapan baru untuk menjemput rizki.

Makassar, 10-10-2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun