Mohon tunggu...
dwina dolopo
dwina dolopo Mohon Tunggu... Guru - Guru

Move and Challenge Yourself

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran Tentang Optimis, Harga Diri dan Kerja Keras

10 September 2024   05:21 Diperbarui: 10 September 2024   07:58 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sambil memikul dua buah karung yang kami tak tahu isinya, lelaki paruh baya itu berjalan terseok-seok. Badannya yang kurus dan punggung yang bongkok semakin membuat kami tersentuh. Trotoar yang seharusnya berfungsi sebagai tempat yang aman bagi pejalan kaki kali ini banyak yang memanfaatkan untuk tempat parkir. Ada pula yang mendirikan toko kelontong ala kadarnya sehingga membuat Bapak itu harus susah payah turun naik antara trotoar dan jalan raya. Ada yang berbeda dari Bapak pedagang keliling yang kami jumpai kali ini.

Lima menit berlalu, kami berempat berdiskusi dan mengambil kesimpulan bahwa Bapak ini adalah orang yang tepat untuk tempat kami berbagi. Akhirnya kami menemukan tempat parkir yang pas. Aku segera turun dan mengambil beras yang ada di bagasi. Setengah berlari ku kejar bapak itu sambil memanggilnya. Dia menghentikan langkah dan menengok ke arahku. Antara yakin dan tidak kalau ada yang memanggilnya, dia melanjutkan perjalanan.  Aku percepat lariku dan berusaha lebih dekat lagi. Setelah jarak kami tinggal selangkah lagi, aku permisi dan menyerahkan bungkusan beras yang cukup berat. Dia menggelengkan kepala dan mengisyaratkan dengan tangan menolak, tidak mau. Aku  masih tidak percaya kalau dia menolaknya. Aku pikir dia salah paham mengira aku menyuruhnya beli berasku. Kami sejenak berdebat, aku berusaha menjelaskan dengan pelan kalau ikhlas memberi. Dia juga berusaha menjelaskan kalau tidak mau menerima. Kami sama-sama belum bisa memahamkan maksud kami masing-masing.

Setelah beberapa saat aku baru paham bahwa dia menolak. Aku biarkan dia melanjutkan perjalanannya sedangkan aku kembali ke mobil. Sambil duduk mengatur napas, aku masih berusaha mencerna dengan kejadian yang langka tersebut. Aku memejamkan mata dan mulai menyadari bahwa empatiku salah server. Aku terlalu terburu-buru mengkasihani orang. Padahal dia mungkin punya prinsip yang lebih kuat.   Astaghfirullahaladziim .. kami seketika sadar bahwa kami telah ceroboh menilai orang. Ini sebuah pelajaran yang mahal bahwa kita tidak boleh mengasihani orang lain hanya karena penampilannya.

Kami baru menyadari keadaan fisiknya bukan karena dia cacat dari lahir. Akan tetapi sepertinya sepanjang hidupnya dia selalu bekerja keras, akan tetapi  rizkinya mungkin masih sebatas cukup untuk keperluan sehari-hari saja.  Dia mungkin tidak mau menerima pemberian orang lain karena dengan keadaannya sudah membuat dia merasa bisa bertahan. Dia selalu pandai bersyukur atas apa yang diberikan yang Maha Pemberi kepadanya. Dia pasti yakin jikalau di dunia ini kurang beruntung, maka usaha Dia akan dibalas dengan nikmat yang lebih pada kehidupan selanjutnya.

Kami jadi malu ketika melihat Bapak itu sebatas dengan indera penglihatan ini.  Padahal banyak orang yang tidak mau dikasihani hanya karena keterbatasan fisiknya. Sudah banyak contoh, orang-orang yang secara fisik tidak sempurna meski diolok, diremehkan, justru hal tersebut yang menjadi cambuk agar mereka bisa membuktikan kalau akan mampu mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Meski dalam hati ada perasaan marah tetapi mereka sangat sabar dan berusaha keras untuk dunia dan akhiratnya.

"Jangan-jangan dia intel" langsung pecah seketika tawa kami oleh joke anak laki-lakiku. Begitu marak berita tentang intel dari Polisi maupun Tentara yang menyamar menjadi penjual bakso, penjual cilok maupun penjual sayuran sedikit banyak mempengaruhi pemikiran kami juga. Sehingga hal tersebut menjadi bahan candaan yang membuat kami spontan tertawa garing.

Sebuah pembelajaran yang mahal dari penolakan yang kami hadapi. Kami tidak boleh menganggap bahwa semua orang sama. Meski terlihat kurang beruntung ternyata dia memegang prinsip tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Aku menyebutnya dia mempunyai harga diri. Bersyukur dengan usahanya sendiri. Mungkin suatu hari dia tidak punya bahan makanan sehingga membuat dia puasa. Terlihat dari badannya yang kurus sehingga muncul asumsi tersebut. Yang jelas, Dia pasti pandai bersyukur dengan segala keterbatasannya.

Mulai dari kejadian tersebut, akhirnya kami lebih hati-hati kalau mau bersedekah. Kami akan mulai dengan kata "Kami punya beras, apa Bapak/Ibu mau menerimanya?"  Kalau yang kami tawari bersedia maka kami akan dengan senang hati berbagi. Akan tetapi jika yang kami tawari menolak, maka kami juga akan menghormati keputusannya.

Malang, 10 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun