Suara komputer indikator tekanan darah yang seharusnya hanya berupa ketukan biasa seperti jarum detik di jam dinding, kali ini terdengar seperti teror. Seolah dia mengatakan "kamu harus siap dengan segala kemungkinan yang terburuk."  Aku terus beristighfar jangan sampai iramanya menjadi satu nada, sehingga garis yang semula turun naik menjadi lurus saja. Ya Allah...
     Aku menahan napas, berjalan menuju tempat engkau terbaring tak berdaya. Semakin dekat, hati ini semakin perih. Engkau yang tadi pagi masih usil dengan kalimat-kalimat lucumu. Kemanakah gerangan senyum yang selalu terkembang itu?Â
     Kuhirup napasku semakin dalam dan berusaha agar air mata ini tidak tumpah . Semakin dekat, netra ini menangkap muka bengkak yang penuh darah kering maupun basah.Â
     "Mengapa dia seperti korban kecelakaan yang belum mendapat penanganan begini?
     " Apa dokter dan perawat begitu sibukknya sehingga pasien dibiarkan belepotan darah begini?"
     Banyak sekali pertanyaan yang  berjubel di kepalaku tentang pelayanan di rumah sakit ini. Jangan perlakukan jantung hatiku seperti ini. Aku menjerit  tertahan!
     Kedua hidungmu ditutup dengan kain kasa yang sudah berubah warna darah. Setiap beberapa kali tarikan napas engkau bergerak, panik, kesakitan.  Dalam setengah sadar engkau belum bisa berpikir dengan apa yang terjadi. Apalagi adaptasi dengan yang terjadi. Karena lubang hidungmu ditutup, maka engkau harus bernapas pakai mulut.Â
     Aku tepuk-tepuk lenganmu agar engkau mengetahui kehadiran Ibumu.Â
"Engkau harus tenang, Nak. Pelan-pelan bernapas pakai mulut ya."
      Alhamdulilah engkau mengenali suara Ibumu dan menjadi tenang, kembali berusaha bernapas pakai mulut. Kepanikanmu terus berulang sampai beberapa jam kemudian. Aku harus menahan bibirmu agar tidak tertutup sehingga bisa untuk bernapas.  Suara air liur atau lendir yang terjebak di tenggorokan rupanya sangat mengganggu jalannya pernapasanmu. Engkau mengerang dan berusaha untuk duduk. Akan tetapi, selang infus, indikator jantung dan prosedur setelah operasi tidak memperbolehkanmu posisi duduk. Aku memelukmu lagi dan membisikkan.  Â
    "Adik sabar ya, berbaring dulu, bernapas pakai mulut!"