Buku Sang Pemula karangan Pramoedya Ananta Toer ini menuliskan kisah Tirto Adhi Soerjo setebal 422 halaman. Seperti dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula, Tirto Adhi Soerjo sekarang sering menggunakan tulisan-tulisannya untuk berani mengkritik dan menyatakan ketidakadilan serta kebusukan pemerintah Belanda. Hal itu berdasarkan pengalamannya sewaktu di Maluku.
Dengan pengalamannya di Maluku ini, Tirto akhirnya berani mempublikasikan Medan Prijaji, yang merupakan surat kabar nasional pertama. Medan Prijaji dalam penyampaian beritanya menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) dan seluruh pekerja mulai dari wartawan, penerbitan, dan pekerjanya adalah pribumi Indonesia asli.
Selain sebagai jurnalis yang handal, tulisan-tulisannya dimaksudkan sebagai suara kritis terhadap Pemerintah, ia juga seorang organisatoris dan propagandis yang ulung. Pilihannya dalam menggunakan bahasa melayu pasar, keberpihakannya kepada kaum terprentah, membuktikan kesadaran baru yang tumbuh melampaui zamannya.
Karya ini kiranya semakin melengkapi bacaan tentang Tirto, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru yang termahsyur itu, yang ditulis pada masa pembuangan Pram di pulau Buru. Mungkin malaikat sejarah tersenyum melihat kerja-kerja yang Pram lakukan saat menyusun buku ini, agar supaya bangsanya tidak lupa budi baik dan amal perbuatan Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula itu.
Bersama R.A Kartini, Tirto Adhi Soerjo juga menjadi motor gerakan emansipasi wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena mereka masih serumpun yaitu jika dilihat dari garis keturunan para raja Madura. Tirto Adhi Soerjo juga mempunyai hubungan dengan Dewi Sartika, di mulai sejak Tirto menjadi donatur dan penasihat di usaha dan sekolah tenun Dewi Sartika.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H