Mohon tunggu...
Dwi Meyqasari
Dwi Meyqasari Mohon Tunggu... Guru - Guru Sosiologi

Memiliki hobi memasak, membuat konten dan menulis, dengan kepribadian kepribadian insting, penulis menyukai isi konten yang bernuansa psikologi, filsafat, agama dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Retorika dan Kamuflase

2 Februari 2024   22:52 Diperbarui: 2 Februari 2024   22:58 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu mendengar kata retorika dan kamuflase?. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, retorika (kbbi.web.id) merupakan keterampilan berbahasa secara efektif dan efisien. Dimana menurut Plato (2002:8) Retorika adalah kemampuan di dalam mengaplikasikan bahasa lisan yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan sempurna.  Sedangkan kamuflase adalah perubahan bentuk, rupa, sikap, warna, dan sebagainya menjadi lain agar tidak dikenali. Jadi hubungan retorika dan kamuflase adalah bagaimana seseorang meyakinkan orang yang diajak berbicara dengan seluruh kalimat bujukkannya dan kepalsuan agar mengikuti kehendaknya baik untuk kepentingan pribadinya maupun untuk kepentingan pendengarnya.

            Dalam kajiannya, retorika yang ada dalam proses belajar di sekolah, biasanya memperlihatkan tentang bagaimana seorang siswa diminta untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya dengan cara dibujuk, dan dipaksa. Atau bahkan ada juga yang memang pada sasarnya memiliki kesadaran sendiri untuk melakukannya proses belajar yang dilaluinya.  Sebagai (researchgate.net) seorang guru yang memfasilitasi siswa  harus mampu menggunakan retorika dengan baik.  Demi mencapai target pendidikan itu sendiri. Sebab, jika guru tersebut mampu menggunakan retorika yang baik, siswa yang ada di dalam sekolah bahkan kelasnya akan menjadi sedikit lebih betah dan bersemangat ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar. Alhasil dalam retorika yang dilakukan oleh seorang guru ini, biasanya selalu saja disertai dengan kamuflase yang dibuat mereka untuk meyakinkan siswa agar mau mengikuti proses belajar-mengajar sesuai kehendaknya.

            Penggunaan kamuflase yang dilakukan oleh seorang guru, dalam bentuk berupa upaya beriming-iming hadiah, beasiswa, nilai baik, dan lulus tanpa kendala. Membuat para siswa akhirnya ingin mengikutinya. Sehingga para siswa tersebut, termotivasi dan tergerak mengikuti segala macam kegiatan baik secara akademis dan non-akademis. Seperti mengikuti kegiatan organisasi yang ada disekolah tersebut atau perlombaan dan kegiatan positif lainnya yang sebenarnya bertujuan untuk membangun diri siswa itu sendiri.

            Dalam dunia pendidikan retorika dan kamuflase ini sering dilakukan oleh para guru untuk  meyakinkan siswanya. Terutama untuk melakukan suatu kegiatan pada proses pembelajaran dan beberapa kegiatan di sekolah. Seperti melakukan kegiatan estrakulikuler dan kegiatan-kegiatan lain untuk mengembangkan skill dan kemampuan siswanya. Tidak jarang kita melihat ada guru yang membujuk bahkan sampai memaksa siswanya untuk melakukan suatu kegiatan di sekolah yang biasanya diiming imingi masa depan yang cerah serta pengalaman yang banyak dan berguna untuk mengasah dan mengembangkan skill nya untuk masa depan.

            Terutama di kurikulum Merdeka Belajar yang memberikan kebebasan kepada pendidik untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang melahirkan pelajar yang bekualitas pula. Meskipun siswa diberi kebebasan untuk memilih  materi sendiri proses dan cara belajar mana yang ingin ditempuhnya bukan berarti disini guru tidak memiliki peranan lagi. Guru dalam posisinya masih sama dalam kurikulum Merdeka Belajar ini yaitu tetap memiliki pesanan sebagai orang tua yang harus mampu mengarahkan bahkan mengontrol proses pendidikan siswanya. Meskipun (kompas.id) dalam idealnya pendidikan yang ada di kurikulum merdeka berorientasi pada siswa, tetapi tetap saja guru harus bisa dituntut untuk membangun pendekatan yang memanusiakan manusia. Agar siswanya mampu menyesuaikan pelajarnya dengan kebutuhkan, kemampuan dan minatnya. Sehingga para siswanya dapat mengembangkan potensi dirinya. Oleh karena,  itu dalam proses belajar di Merdeka Belajar ini dituntut harus mampu beretorika dan berkamuplase dengan siswanya di sekolah. Sebab untuk menciptakan siswa yang berkuaitas perlu ada sedikit dorongan melalui retorika dan kamuflase positif ini. Terlebih lagi sekarang ini banyak generasi sekarang cenderung enggan menggali potensi dan skill yang dimilikinya. Maka dari itu retorika dan kamuflase positif ini berguna dalam menggali skill dan potensi dalam siswa yang tidak mengetahui apa skill nya. Dengan sedikit paksaan dari retorika ini maka siswa akhirnya bisa memiliki potensi dan skill yang berguna untuk masa depannya.

            Adapun bentuk dari retorika yang biasa dilakukan oleh guru kepada siswa yaitu sebagai berikut. Pertama, mengajak siswa mengerjakan tugas sekolah dengan baik dengan cara mengirimkan tugas dengan baik dan tepat waktu apabila tidak mengerjakan akan mendapatkan sanksi dan konsekuensinya. Kedua, mematuhi peraturan sekolah dengan memakai pakaian sesuai jadwal, melengkapkan atribut sekolah, mengenakan seragam yang telah ditentukan seperti sepatu harus hitam dan lain sebagainya. Ketiga, lebih giat dalam belajar tidak malas malasan dalam belajar. Keempat, mengikuti kegiatan estrakulikuler di sekolah seperti Pramuka, OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), dan sebagainya. Kelima, menjadi siswa yang baik dan memiliki akhlak yang baik sesuai norma agama dan norma sosial seperti lemah lembut saat berbicara kepada orang yang lebih tua, tidak memotong pembicaraan orang lain, selalu menghormati dan menghargai orang lain dan sebagainya. Terakhir, ikuti lomba untuk meningkatkan pengalaman baik akademis maupun non-akademis seperti OSN, O2SN, FLS2N, dan lain sebagainya. Biasanya hal-hal tersebut akan dilakukan oleh guru untuk kebaikan siswa itu sendiri.  Agar siswa mampu menyadari sangat penting untuk meningkatkan skill maupun pengalamannya Terutama ketika dirinya berproses dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pada Kurikulum Merdeka ini.

            Berdasarkan retorika yang sering diutarakan kepada siswa tersebut, selanjutnya guru memainkan peranannya agar ajakan tersebut dapat diikuti bersama dalam proses pembelajaran yang dilakukannya. Perlu ada sedikit kamuflase seperti seolah-olah marah pada anak muridnya yang nakal dan tidak mengerjakan tugas sebagai dorongan agar anak tersebut mengerjakan tugas tersebut. Serta terkadang harus bertingkah agar terlihat sedikit tegas namun seperti kasar dimata sisw. Untuk memudahkan guru tersebut dalam membimbing siswanya dengan sedikit ekspresif. Sehingga pembelajaran tersebut bisa dengan mudah terarahkan. Sebab siswa merasa khawatir jika tidak melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Melalui dorongan-dorongan tersebut maka siswa akan lebih memahami konsekuensi atas perlakuannya.  Dan hal ini sering disalah artikan oleh siswa yang menganggap bahwa perlakuan tersebut adalah bentuk dari kemarahan guru terhadapnya. Padahal itu semua demi kebaikan siswanya sendiri.

            Misal, bentuk kekesalan guru yang diekspresikan dengan kemarahan terhadap siswa dikarenakan tidak mengerjakan tugas. Pastilah siswa ini beranggapan guru tersebut jahat padanya.  Bahkan tidak jarang ada diantara siswa saat ini ada yang membantah dan melawan guru.  Padahal itu juga demi kebaikan dan masa depan murid tersebut. Seandainya guru tersebut tidak perduli sama sekali dengan siswanya yang tidak mengerjakan tugas dan terjadi secara terus-menerus, maka otomatis pemahaman siswa tersebut akan kurang dan sangat sedikit didapatkannya. Sehingga hal ini akan memberi dampak yang buruk pada kemampuan yang bisa dimiliki siswa serta masa depannya sendiri.

            Contoh lainnya lagi, ketika guru yang meminta siswanya untuk mengikuti kegiatan lomba atau kegiatan pelatihan yang sangat berguna untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Hal ini bahkan terkesan memaksa bagi para siswa yang enggan untuk melakukannya.  Padahal itu semua dilakukan demi mengembangkan mental, pengalaman, dan skill siswa agar setelah lulus sekolah dirinya sudah memiliki pengalaman dasar dalam melakukan suatu kegiatan.

            Kericuhan yang disebabkan dari proses pembelajaran ini sering dikaitkan dengan  undang-undang perlindungan anak. Sehingga membuat upaya seorang guru untuk membentuk siswanya terlihat semakin berjarak. Dikit-dikit retorika yang terlihat tegas dan memaksa dalam proses belajar siswa saat ini. Lapor ke orang tua, "mama papa mental ku rusak karena dibentak oleh guru itu". Begitu celotehan yang banyak ditayangkan dalam beberapa akun media sosial terhadap bagaimana mental seorang siswa tumbuh dan berkembang saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun