Mohon tunggu...
Dwimay Fawzy
Dwimay Fawzy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Universitas Muhammadiyah Jember

Tertarik dengan tema tulisan atau penelitian mengenai media, identitas, komunikasi sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memikirkan Ulang Rumah Ibadah sebagai Ruang Ujian Calon Pemimpin dalam Kampanye Politik

4 Juni 2024   08:25 Diperbarui: 4 Juni 2024   08:51 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kali rumah ibadah terkesan disterilkan dari kampanye politik sekaligus ceramah yang membahas tema senada. Sehingga, muncul anggapan bahwa berkampanye di rumah ibadah adalah terlarang atau tidak bermoral. Seperti pada fenomena dua tahun lalu, tepatnya pada 2 Desember 2022 saat safari politik Anies Baswedan di Banda Aceh, yang mendapat kritik karena secara tidak langsung dianggap menjadikan Masjid Raya Baiturrahman sebagai "podium" kampanyenya. Hal tersebut lantaran Bawaslu sebagai institusi resmi yang mengawasi proses Pemilu secara keras melarang kegiatan kampanye di tempat ibadah. Lalu, apakah memang demikian bahwa rumah ibadah harus dihindarkan dari praktik kampanye bagi para calon pemimpin?

Secara sosiologis,  Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, banyak dari perilaku kulturalnya dipengaruhi oleh berbagai nilai Islam, termasuk perilaku politiknya. Contohnya seperti sowan kepada kiai oleh para calon pemimpin yang akan mengikuti pemilu, atau bahkan sekedar terpampangnya gambar dari seorang tokoh keagamaan pada baliho para calon pemimpin tersebut, sehingga seolah-olah si calon di-endorse oleh si tokoh. Hal ini merupakan salah satu akulturasi nilai dalam Islam tentang memuliakan ulama dan perilaku politik (Heryanto, 2012).

Fenomena semacam ini menjadi pola baku yang wajib guna menciptakan citra yang sesuai dengan persepsi yang baik terutama bagi kelompok Muslim. tampilan kesalehan seseorang tidak dapat dipungkiri masih menjadi daya pikat serta faktor dalam memilih pemimpin. Oleh karenanya melihat fakta sosiologis yang demikian, maka sangat wajar apabila aspek keagamaan dan simbol yang merepresentasikannya selalu berdampingan dalam narasi maupun praktik kampanye. Sehingga, terdapat anggapan bahwa gabungan antara sistem demokrasi dan kondisi kultural masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah Muslim, merupakan lebih dari sekedar keunikan, namun keajaiban.

Dalam setiap percakapan yang membahas tentang demokrasi di Indonesia, setiap orang menginginkan kualitas yang semakin baik, mulai dari para elite hingga masyarakat di akar rumput. Namun, sering kali kita takut untuk menempuh berbagai resiko dari keinginan tersebut. Sehingga, justru yang didapat adalah kemunduran kualitas dari demokrasi itu sendiri. Sebagai contoh adalah praktik kampanye yang terlalu diatur oleh KPU dan Bawaslu dengan berbagai alasan ketertiban dan faktor teknis lainnya. Apabila kita berangkat dari kondisi kultural masyarakat Indonesia yang dijelaskan di atas, maka seharusnya justru rumah ibadah dijadikan salah satu "panggung" utama dalam kampanye politik para calon pemimpin. Mengapa demikian? Karena dari situ kita bisa uji bagaimana konsep mereka tentang upaya dalam menerjemahkan ayat-ayat teologis ke dalam kebijakan sosiologis, kultural, ekonomi apabila dia terpilih nanti. Juga, terkait konsep seperti apa yang sekiranya akan ia implementasikan untuk menghidupkan kemajemukan kita sebagai bangsa melalui hadirnya para calon pemimpin di rumah ibadah. Tentu kita tidak berbicara terkait persoalan fikih yang dapat diatur kemudian, karena poin utamanya adalah justru kita ingin rekatkan wilayah kultural keagamaan dan komunitas agamis di dalamnya dengan praktik politik kampanye yang selama ini direnggangkan.

Paradoks yang bercokol di pikiran kita, yakni kita mengakui dan menerima nilai-nilai keagamaan serta atributnya beredar dalam kegiatan kampanye politik, namun menolak ketika hasrat seseorang yang ingin menjadi pemimpin tersebut diuji dalam ruang-ruang keagamaan. Apakah hasrat tersebut berbasis pada konsep yang diajarkan oleh agama atau justru berkebalikan darinya. Dualisme semacam itu terjadi, barangkali karena praktik berkampanye yang selama ini sudah sedang dilakukan oleh para calon pemimpin baik dari tingkat lokal hingga nasional jauh dari standar yang seharusnya. Kita lebih sering melihat kampanye adalah satu arah, di mana seorang calon pemimpin berorasi di atas panggung, dan kerumunan di bawahnya hanya berteriak 'setuju' atau 'merdeka' sesuai dengan yang diinstruksikan. Tidak ada dialog, tidak ada uji konsep, dan ujian-ujian lain yang seharusnya diterima oleh seseorang sebelum dia menjabat sebagai pemimpin. Maka tidak heran apabila definisi kita tentang kampanye adalah sama dengan panggung dangdut yang tentu kontradiktif dengan rumah ibadah. Pada akhirnya, praktik kampanye yang keliru justru menghantarkan kita pada satu bayangan bahwa rumah ibadah tidak layak dimasuki oleh berbagai praktik politik termasuk kampanye politik, karena merupakan tempat yang suci, yang berarti secara tidak langsung kita menganggap bahwa aktivitas politik merupakan aktivitas yang kotor.

Di dalam kondisi yang meredupkan asa mengenai demokrasi, selalu terbersit harapan bahwa suatu saat kita akan menyaksikan demokrasi yang berkualitas, yang mendisrupsi perilaku buruk yang sudah terlanjur identik dengan politik. Sehingga, siapa pun yang berminat untuk menjadi pemimpin, dapat menuangkan gagasannya di mana saja, termasuk di rumah ibadah. Kekhawatiran kita pada aktivitas politik di dalam rumah ibadah karena citra dari kampanye politik adalah mengumbar janji yang sering kali tidak ditepati, sehingga tidak pantas diucapkan di rumah ibadah. Ke depan, tentu yang harus hadir adalah kampanye politik yang tidak lagi diisi dengan sekedar janji tanpa realisasi, atau yel-yel yang berlebihan, melainkan konsep dari berbagai aspek yang dapat diuji dan dikuliti oleh setiap orang agar pemimpin yang muncul adalah yang memang berorientasi pada rakyat dan berbasiskan moral. Oleh karenanya, KPU dan Bawaslu sebagai perangkat formal bagi terselenggaranya proses pemilihan calon pemimpin, seharusnya mulai meningkatkan intensitas bertemunya calon pemimpin dengan masyarakat dalam berbagai ruang termasuk di rumah ibadah, sebagai "ruang ujian" bagi para calon pemimpin tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun