Yogyakarta, 23 April 2010, subuh saat terserang insomnia.
Terbersit ide untuk menulis saat aku mengalami insomnia sejak lebih dari seminggu kemarin. Ingin meniru jejak Owl City yang proses kreatifnya dalam mencipta lagu dan musik timbul ketika dia mengalami insomnia. Tapi, aku hanya bisa menulis, bukan bermusik.
Suatu waktu aku mengobrol dengan salah seorang teman di ruang obrolan facebook. Aku duluan yang menyapa dan dia balas menegur. Dia bertanya: “Lagi apa?”. Kujawab: “Baca-baca blog orang. Isinya sangat agama. Menginspirasikan untuk bertobat. Haha.”
Sangat agama maksudku di sini adalah agama Hindu. Blog tersebut tidak sengaja kutemukan saat sedang mencari-cari cerita Mahabharata, epos terfavoritku. Blog tersebut kebanyakan mengupas filsafat-filsafat ajaran agama Hindu dalam cerita Mahabharata dan Ramayana.
Seketika temanku itu bertanya: “Kalau nanti kamu meninggal, lalu di alam sana kamu ditanya siapa Tuhanmu, kamu jawab siapa?” Otomatis aku tergelak, tersenyum kecil. Ini seperti menguji kedalaman ilmu agamaku yang masih amat dangkal karena penuh ketidaktahuan dan kekurangan amal ibadah. “Tuhan” kujawab dengan pasti, sesuai dengan kepercayaanku yang universal dan mengglobal. Temanku mendebat keseriusanku. “Ya siapa nama Tuhanmu?” desaknya. Lagi-lagi dengan pasti kujawab: “God in whatever names.” Lalu dia mengklaim keagamaanku masih suam suam kuku alias belum penuh, belum serius. Dia menyatakan Tuhannya bernama Yesus Kristus (dia seorang Katholik), sekali lagi dia bertanya untuk mendapatkan jawaban yang dianggapnya sebagai kepastian, “Tuhanmu namanya siapa?” dengan kebijaksanaanku sendiri yang mungkin belum tentu bijak bagi orang lain, aku menjawab: “Weda menyatakan EKAM SAD VIPRAH BAHUDA VADANTI yang artinya Tuhan itu satu namun disebut dengan banyak nama. Tuhan itu ya Tuhan, God, Ida Sang Hyang Widhi, Krishna, Shiva, Allah, Allah Bapa Di Surga, Jehovah, Buddha Gautama dan nama-nama indah lainnya. Dalam Al-Quran 7.180 juga disebutkan: Nama-nama terindah yang dimiliki Allah, maka sebutlah Dia dengan nama-nama itu.” Temanku terus mendebat. Berusaha meyakinkanku untuk hanya menyebut satu nama saja selain *Tuhan* tentunya.
Mungkin ini bisa menjadi renungan bagi kita di Indonesia. Masihkah ada pikiran “kau dan aku punya Tuhan yang tak satu”? Ini Tuhanmu hai saudara Muslim dan inilah Tuhannya saudara kita yang Budha lalu perkenalkan ini Tuhan saudara Hindu dan seterusnya dan seterusnya. Mari kita analogikan secara sederhana saja: kalian ada, kalian punya nama, dan tentu punya nama panggilan, siapapun kalian dipanggil, bukankah nama panggilan tersebut merujuk pada yang satu, yaitu diri kalian sendiri? Seperti aku, di rumah aku dipanggil Tut Enik, di SMA dipanggil Ozent, di kampus dipanggil Ketut, di kos dipanggil Keke, ada pula yang memanggil aku Kecil, dan lainnya. Namun, semua nama itu merepresentasikan satu yaitu aku. Begitu pula dengan Tuhan. Umat Hindu di Bali menyebutNya Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan umat Hindu di India memujaNya Krishna atau Hari atau Govinda, sementara yang beraliran Saktism menyebutNya sebagai Shiva. Umat Nasrani di Indonesia menyebut Yesus sebagai Tuhan, umat Nasrani di India ada yang menyebutNya Krischto. Umat Muslim bahkan punya 99 nama Allah yang suci mulai dari Al-Hakim, Al-Kudus, Al-Akbar, dan lainnya. Logika lainnya yang kujalankan dan sekaligus kujelaskan pada temanku itu adalah pasal 1 Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Esa atau Eka dalam bahasa Sansekerta dan Echad dalam bahasa Israel memiliki arti yang sama yaitu Tunggal atau Satu. Indonesia, negara tempat kita bersuka cita ini, mengakui enam agama dan berbagai aliran kepercayaan selama tidak menyimpang dari ajaran ketuhanan dan moral, bagaimana jika keenam agama tersebut ngotot mengklaim mereka punya Tuhan mereka masing-masing? Matematika yang mudah sekali: ada enam Tuhan. Lalu untuk apa susah-susah dideklarasikan setiap hari Senin pagi bahwa Tuhan itu Esa, Tunggal, Satu? Ingkar pada Pancasila, ingkar pada negara tercinta. Logika lainnya yang kuadu adalah pemberian nama Tuhan itu kultural, disesuaikan dengan lidah masing-masing. Buktinya? Nama Kristus berasa dari bahasa Yunani “Christos” yang artinya yang disucikan atau keselamatan atau rupawan. Dalam bahasa Sansekerta Christos dilafalkan menjadi Cristo atau Krischto atau Krishna yang juga memiliki arti rupawan. Kristus dan Krishna sama-sama memiliki arti yang maha rupawan atau juru selamat. Apa masih diragukan kita menyembah Tuhan yang sama?
Tuhan itu bukan milik perorangan atau kelompok. Tuhan itu Maha Universal, Maha Tidak Terbatas. Jadi, untuk apa membatasi Tuhan dan dimensinya? Terlebih membatasi diri sendiri, pikiran serta hati? Mengapa mesti memaksa seseorang untuk memastikan siapa nama Tuhannya yang sebenarnya? Mengapa kita tidak terbuka dan saling menghormati? Saat seseorang menyebut; “Allah pasti mendengarkan kita.” Kenapa kita mesti berpikir sempit lalu memprotes: “Tidak, kalau aku, Yesus lah yang mendengarkan! Bukan Allah!” Bukankah lebih indah jika kita menimpali: “Ya, Beliau pasti akan mendengar.” Tidak fanatik, ngotot, saklek.
Kemudian temanku itu bertanya: “Kalau Tuhan itu memang satu, kenapa mesti ada agama yang berbeda-beda?” Kembali aku memutar otak agar bisa terdengar cukup logis dan bijak: “Agama itu menurutku hanya identitas. Selayaknya negara kita yang punya GBHN, maka agama adalah GBHN individual agar tidak meyimpang atau sesat. Agama sebagai tuntunan kita memuja Tuhan, sebagai wahana dan media untuk menunjukkan pada Tuhan betapa kita mencintaiNya.”
Manusia, dengan segala kemampuan dan kekreatifannya menciptakan apa yang dipercayanya, termasuk cara memuja Tuhan. Aku yakin Tuhan dalam segala nama yang indah itu mengizinkan semua umat memuja dan menyembahNya dengan cara yang bermacam-macam, termasuk dalam agama yang beragam pula. Aku memujaNya secara Hindu, kau secara Katholik, dia secara Kong Hu Chu, kalian secara Buddha dan mereka ke Masjid. Tuhan tidak marah karena kita semua adalah anakNya seperti yang Ia nyatakan dalam Bhagavad Gita 14.4: AHAM BIJAH PRADAH PITA (Akulah ayah yang merupakan benih seluruh mahluk hidup).
Jadi, masihkah ada wacana Tuhanmu dan Tuhanku?
~Dwi Marleni dalam pluralisme dan universalitas~