Juni 2009 lalu aku kehilangan handphone di kampus. Sekitar sebulan kemudian aku berhasil mengumpulkan uang untuk membeli yang baru sekaligus nomor yang baru pula. Seminggu setelah menggunakan nomor dan handphone baru, acapkali ada yang menelepon. Nomor-nomornya tidak ada yang aku kenal. Aneh lagi, semua nomor itu mencari seorang yang bernama Ibu Merlin Wibisono kadang Ibu Merlin Presley. Tiga hari pertama semenjak menerima panggilan-panggilan tersebut aku masih bisa bersabar dan dengan baik hati menyampaikan salah sambung. Namun, saat panggilan-panggilan tersebut tidak pernah berhenti dan terus-menerus mencari Ibu Merlin, aku mulai sebal. Aku teriaki, aku caci-maki, aku marah besar dan aku mengancam akan melapor ke polisi. Bukan apa-apa, telepon itu makin mengganggu. Apalagi semua telepon itu berasal dari bank-bank dan perusahaan asuransi yang menagih hutang. Tidak jarang mereka mendesak aku untuk mengakui aku adalah Ibu Merlin. Kalaupun aku bersikeras aku bukan Ibu Merlin yang mereka incar, maka mereka akan mulai jurus baru menawarkan kartu kredit atau asuransi. Penelepon-penelepon tersebut seakan telah terlatih untuk imun terhadap kata-kata ‘tidak, terima kasih’. Mereka mendesak dan memaksa hingga aku menyerah: membunuh sambungan tanpa pamit!
Selama setahun hingga tulisan ini kutuangkan, aku belum terbebas dari kutukan Ibu Merlin Wibisono. Aku telah minta tolong temanku untuk mengangkat telepon dan menjelaskan kepada suruhan bank tersebut bahwa aku bukan Ibu Merlin. Bahkan, ada nomor-nomor yang telah menghubungiku dan kujelaskan bahwa aku bukan orang yang mereka cari kembali menghubungiku dan kembali menanyakan apakah aku ini Ibu Merlin. Aku capek. Aku lelah. Hingga terkadang jika ada panggilan dari nomor yang tidak aku kenal, aku hanya memencet tombol jawab dan hanya mendiamkannya. Agar mereka membuang pulsa percuma. Sebagai hukuman! Namun, terkadang nomor-nomor tersebut merupakan nomor baru dari orang-orang yang aku kenal. Yah, akhirnya aku terima saja mereka marah-marah karena tidak kujawab panggilannya. Maklum, aku kira dari penggemarnya Ibu Merlin. Sungguh mengganggu.
Atas saran temanku, aku akhirnya mencoba menelepon provider sim card-ku. Setelah menyatakan keluhan bahwa mungkin saja nomorku ini kembar dengan seseorang seperti yang bapakku alami saat aku masih SMP. Waktu itu, nomor bapakku merupakan nomor kembar. Ketahuan setelah teman bapakku menelepon, tetapi yang mengangkat orang lain. Awalnya bapakku tidak percaya dan mengatakan temannya itu salah memencet nomor. Namun, ketika dipraktekkan di depan bapakku dan bapakku sendiri yang memencet nomornya, ternyata benar. Handphone bapakku bergeming, sementara nun jauh di sana, panggilan tersebut dijawab. Dua kali dicoba menggunakan dua handphone yang berbeda, tetap saja. Terpaksa bapakku mengganti nomornya. Pantas saja akhir-akhir ini beli pulsa jarangmasuk, batin bapakku. Nah, hal yang sama kutakutkan terjadi pada nomorku. Mungkin Ibu Merlin ini memiliki nomor yang sama denganku. Operator sim card-ku dengan santai menyatakan itu tidak mungkin karena ini dan itu, lalu blablabla. Aku ngotot agar dia membantuku untuk memeriksa semua data, namun lagi-lagi dia dengan santai mengatakan tidak mungkin karena ini dan itu, lalu blablabla. Oh, sial! Aku enggan berganti nomor karena nomor ini telah menyebar luas untuk keperluan beasiswa, relasi dan koneksi. Jika menggantinya, aku akan sibuk sendiri dan mengurusnya tidak gampang.
Kadang aku dan teman-temanku suka mendiskusikan kasus Ibu Merlin ini. Bank yang menghubungiku selalu menagih hutang kartu kredit senilai lebih dari 25 juta hingga 40 juta. Belum lagi premi asuransi yang nilainya juga kurang lebih sama. Bagaimana mungkin bank-bank ternama dan perusahaan asuransi terkenal bisa ceroboh sekali dalam memilih pelanggan? Tidakkah mereka melakukan survey terlebih dahulu pada calon pengguna kartu kredit? Tidakkah mereka mengkroscek semua data yang diberikan sang calon pelanggan? Apa bank-bank atau perusahaan asuransi ini hanya ingin meraih untung atau memenuhi target? Sungguh keterlaluan. Sungguh malu pada nama besar mereka di Indonesia. Lalu, apakah benar ada yang bernama Ibu Merlin? Jika iya, sungguh hebat dia dalam membuat hidupku susah dan menipu bank-bank tersebut juga perusahaan asuransi. Bagaimana tidak? Tiap hari paling tidak ada sekitar tiga panggilan masuk ke handphoneku dari nomor dan kode area yang berbeda. Paling banyak kode Jogja dan Jakarta, pernah juga Malang dan Surabaya. Tiap hari pula aku lemas karena memarahi para penelepon tersebut jika mereka terlalu memaksaku.
Siapa yang salah? Aku lebih menekankan pada bank dan asuransi. Mengapa? Karena pernah terjadi kasus yang nyaris sama di lingkungan paling terdekatku: kos. Ada salah seorang teman kos yang ditawari membuat kartu kredit oleh sebuah bank ternama. Dia mau karena persyaratan yang mudah: asal punya jaminan dan penjamin. Tahu teman kosku itu menjaminkan apa dan siapa penjaminnya? Dia menjaminkan kos-kosan dan penjaminnya adalah bapak tukang bersih-bersih kos. Dia mengatakan kepada bank tersebut bahwa kos tersebut adalah miliknya dan bapak tukang bersih-bersih itu adalah pamannya. Celakanya, bank hanya percaya kata. Bank tidak melihat sertifikat kepemilikan tanah atau bangunan. Bank tidak mewawancarai bapak tukang bersih-bersih kos. Hingga teman kosku itu itu pindah ke Jakarta, mulailah telepon kos berdering-dering nyaring tiap harinya mencari teman kosku itu. Kami penghuni kos dengan setia mengabarkan bahwa dia telah pindah ke Jakarta dan tidak tahu nomor yang bisa dihubungi. Bapak tukang bersih-bersih kos yang tidak tahu-menahu tentang pembuatan kartu kredit itu syok berat ketika ada yang meneleponnyadan menagih jaminan sekitar 10 juta rupiah. Astaga, beliau orang tidak berpunya, bagaimana bisa menyediakan uang 10 juta? Gila! Ketakutan, si bapak dan istri kemudian melapor pada kami, anak-anak kos. Kami pun syok mendengar kenyataan ini. Kami sigap menghubungi tersangka lewat facebook, namun sepertinya facebooknya telah lama mati suri. Salah seorang dari kami berusaha mendapatkan alamat dan nomor telepon bekas kantor tempat tersangka bekerja agar nanti pada saat bank menelepon ke kos atau ke bapak tukang bersih-bersih, bisa dialihkan ke sana. Ternyata itu manjur. Semenjak itu, tidak ada lagi yang mengganggu kos kami dengan hutang 10 juta lebih. Entah apa yang terjadi kemudian pada bank dan si tersangka.
Mungkin itu juga yang terjadi antara bank, perusahaan asuransi dan Ibu Merlin Wibisono atau Ibu Merlin Presley. Ibu Merlin bisa dengan mudah membuat kartu kredit hingga beranak pinak di berbagai daerah karena kemudahan syarat dan ketentuannya. Lagipula, tidak dikroscek kebenarannya, jadi bohong tidak apa-apa. Bagi bank atau asuransi, mungkin asal memenuhi target, hajar bleh!
Jogja, 030810
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H