Aku risih. Sumpah aku risih. Kenapa? Risih mendengar artis-artis penyanyi Indonesia menyanyi. Lagi-lagi, kenapa? Risih mendengar mereka mengucapkan lirik lagunya. Artikulasi mereka buruk. Buruk.
Fenomena bahasa alay sudah cukup memperburuk ranah EYD bahasa Indonesia dan juga bahasa Indonesia prokem/informal yang diakui keberadaannya. Bahasa alay ini biasanya menggabungkan huruf besar dan kecil dalam satu kata, menggabungkan huruf dan angka untuk membentuk kata, menghilangkan/menambahkan satu huruf sebuah kata, atau mengubah susunan kata tetap dengan paduan huruf-huruf yang seharusnya tidak digabungkan. Misalnya, “Ea, 4KuuCh 1tUUch ug4 Ch1nt4 k4mUwH.” Silakan Anda baca sendiri. Sakit mata, bukan?
Kehadiran para penyanyi dengan pengucapan salah makin menambah corengan di wajah luhur bahasa Indonesia. Para penyanyi yang merupakan public figure atau bisa jadi role model bagi para penggemarnya secara tidak langsung berperan penting dalam menggiring penggemarnya untuk ikut-ikutan mengucapkan satu kata bahasa Indonesia dalam pengucapan yang salah. Contohnya saja, coba Anda dengarkan The Virgin atau Mulan Jameela menyanyi. Mungkin bagi banyak orang mereka terdengar bagus. Ya, secara musikalitas dan suara mereka memang memiliki kualitas. Namun, perhatikanlah lagi. Mereka melakukan banyak kesalahan dalam mengucapkan lirik indah lagunya.
“Hatimu seksi, itu terbukti …” lirik lagu ‘Makhluk Tuhan yang Paling Seksi’ yang inspiratif ini akan sampai di telinga kita seperti ini: “Hachimu shekshi ichu cherbukchi…” Jujur saja, aku sungguh risih dan capek mendengarnya. Padahal lagunya bagus, tetapi belum sampai setengahnya kudengarkan, aku lelah. Belum lagi saat The Virgin menyanyi. Mereka cantik dan bertalenta. Hanya saja, aku jadi tidak suka karena mereka memiliki artikulasi yang sengaja disalah-salahkan. Entahlah apa tujuannya. Lirik “Rasa ini sungguh tak wajar…”, maka akan terdengar layaknya: “Rasha ini shungguh chak wajhyar…”
Bukan hanya The Virgin dan Mulan Jameela. Sekarang banyak penyanyi yang seperti itu. Penyanyi yang menggolongkan suara /s/ seperti /s/ pada kata ‘rasa’ ke dalam golongan palato-alveolar fricatives. Seharusnya, suara /s/ ini menempati golongan alveolar fricatives bersama-sama dengan suara /z/ seperti di kata ‘zaman’. Sementara itu, suara-suara yang termasuk palato-alveolar fricatives adalah suara /sh/ dalam kata bahasa Inggris ‘she’ dan suara /zh/ dalam kata bahasa Inggris ‘pleasure’. Tidak hanya suara-suara itu yang disalahgolongkan oleh para penyanyi, suara /p/, /t/, / k/ pun iya. Terutama suara /t/ dan /k/. Artikulasi suara /t/ seperti dalam kata ‘tak’ seharusnya merupakan golongan suara alveolar unaspirated. Namun, para penyanyi kini ‘memplesetkannya’ ke dalam golongan suara /ch/ palato-alveolar fricatives seperti dalam kata bahasa Inggris ‘chair’, bahkan ada artis yang menggunakan suara /ch/ palato-alveolar fricatives ini untuk mengartikulasikan kata ‘becek’, ‘cekcok’ atau ‘cicak’. Jadi, kata-kata tersebut akan terdengar ‘bechek’, ‘chekchok’, dan ‘chichak’. Terasa capek, kan? Selanjutnya, nasib yang sama pun dialami suara /k/. Suara /k/ yang seharusnya velar unaspirated dalam kata bahasa Indonesia seperti dalam kata ‘kamu’, kini berubah menjadi velar aspirated di mulut para penyanyi negeri ini sehingga kata ‘kamu’ akan terdengar ‘khamu’.
Aku khawatir cara-cara mengucapkan dan menuliskan bahasa Indonesia ini akan terus berlanjut hingga penerus bangsa di masa depan. Aku cemas bahasa Indonesia akan kehilangan pembicaranya. Aku khawatir, jika terus begini bahasa Indonesia akan sia-sia digaungkan sebagai salah satu isi Sumpah Pemuda. Tidak bisakah para kaum muda sekarang ini menggunakan bahasa Indonesia yang sesungguhnya? Maksudnya, bukan berarti harus tumplek plek dengan EYD saat bercakap-cakap. Namun, ucapkanlah dengan artikulasi yang benar. Saat mengetik pesan singkat atau surat kepada seorang kawan, gunakanlah bahasa Indonesia yang benar. Tidak disalahkan kalau Anda menulis: “Iya, bener banget tuh.”; atau mengetik pesan singkat: “Ak ga bs k rmh km.” Asal semuanya masih bisa dibaca dan diartikan dengan jelas. Tidak apa-apa bila menulis tidak bisa sesuai dengan EYD, namun ketahuilah hal-hal sederhana dari aturan EYD tersebut. Misalnya, mengetahui kapan awalan di- itu dipisah atau disambung dengan kata yang mengikutinya, mengerti kapan awalan me- akan menjadi mem-, meny-, meng-, men-, dan lain sebagainya. Begitu pula saat mengucapkan bahasa Indonesia. Jika harus bersuara /t/, maka ucapkanlah dengan suara /t/ utuh, bukan /ch/. Jika suatu kata mengandung suara /s/, maka ucapkanlah dengan suara /s/ yang penuh juga. Aku bahkan mengakui bahwa tulisanku ini jika dilacak dengan buku EYD pasti banyak sekali kesalahannya. Tetapi, setidaknya aku telah berusaha menggunakan dan menuliskan yang benar. Aku mengetahui bahwa setelah kata ‘namun’ aku harus membubuhkan tanda koma jika kata ‘namun’ tersebut mendahuli kalimat. Jika ia berada di belakang kalimat maka tanda koma yang mendahuluinya. Aku tahu aku harus menggabungkan dua kata dasar yang diapit oleh awalan dan akhiran seperti kata ‘disalahgolongkan’ atau ‘mempertanggungjawabkan’.
Akhir kata aku ingin mengutip slogan yang tertera di buku karangan Arswendo Atmowiloto yang berjudul ‘Sirih untuk Cucu’, tahun 1986: ACI (Aku Cinta Indonesia). Ya, aku cinta Indonesia terlepas dari apapun itu. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk Indonesia: sebuah renungan akan bahasa Indonesia yang semakin tua, namun (seperti) mengalami kemunduran.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2010!
Dukung terus bahasa Indonesia!
Jangan lupa, dukung pebulutangkis Indonesia serta doakan semoga persebakbolaan Indonesia bisa menembus Piala Dunia!
Salam nasionalitas dan patriotisme!
Yogyakarta, 20 Mei 2010, 09.14 pm