Mohon tunggu...
Dwi Marfuji
Dwi Marfuji Mohon Tunggu... Administrasi - Runner, pingin hidup sehat dan syukur manfaat buat orang lain

Sesantai gambarnya...\r\n\r\n@dwimarfuji

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelusuri Anak Turun Kerajaan Mataram di Pengasih, Yogyakarta

21 Maret 2016   13:45 Diperbarui: 21 Maret 2016   14:02 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hangatnya sinar matahari pagi hari terasa dikulit. Tepat pukul 07.00 di Hotel AmbarukmoPlaza kami bersepuluh berkumpul. Pak Dwi Soetjipta, Dirut Pertamina terlihat dari kejauhan mengenakan baju silat. Hari ini kami bertugas membersamai, sekaligus menuliskan rangkaian acara sosial-kemasyarakatan seorang pimpinan tertinggi perusahaan minyak milik negara tersebut di Nglanggeran, Gunung Kidul, DIY. 

[caption caption="Pak Dwi Soetjipta, Dirut Pertamina urun berpartisipasi melesatrikan dan memajukan olahraga sekaligus beladiri nasional, pencak silat. Doc. Mbak Riana"][/caption]

Sembari menunggu mobil tiba, penulis sempat mengobrol-ngobrol santai, ngobrol dari aktifitas, kegiatan hingga sampai tentang Jogja dimasa lalu. Jogja dimasa lalu adalah sebuah kerajaan besar bernama kerajaan Mataram yang daerahnya membentang hampir mencakup seluruh pulau jawa, yang selanjutnya terbagi menjadi kasunanan Surakarta Hadiningrat(solo)dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebelum kerajaan Mataram Islam berdiri, didahului berdirinya kerajaan Mataram Kuno.

Dalam Buku FIP Library,yang berjudul Perjuangan Dipanegara, karangan R.Gunadi T & R.Sukirman HD. Mataram Kuno adalah sebuah nama kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 732 M. Kerajaan Mataram sebagai salah satu peradaban terbesar Dunia meninggalkan berbagai peninggalan budaya yang sampai sekarang masih bisa dilihat sepeti candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Prambanan, dll.

[caption caption="Usai melatih dan memberikan bantuan di Nglanggeran GK, Pak Dwi Soetjipta menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabat2 wartawan."]

[/caption]

Peninggalan-peninggalan lain yang masih benar-benar terjaga adalah bahasa, budaya, adat-istiadat bangsa Jawa hingga sekarang oleh masyarakat local. Salah satu daerah yang diyakini masyarakat local jogja masih memiliki garis keturunan Raja Mataram Kuno adalah Pengasih, letaknya 5km utara Wates, tepatnya di Dusun Blubuk, Sendangsari, Pengasih, KP, DIY. Dahulu daerah tersebut diyakini sebagai tempat pengujian kesetiaan dan kesungguhan azam (tekad lan karep:jawa)Sunan Geseng oleh Sunan Kalijaga. Sunan Geseng sendiri merupakan keturunan raja Mataram Kuno, silsilahnya dari Wonojoyo, putra ki wirantaka, ki wirantaka putra Kertisara, Kertisara putra dari Wara Sragu, Wara Sragu putra pangeran Murya, Pangeran Murya putra Trimurti, Trimurti putra Sangkadiawan, Sangkadiawan Putra Raja Sanjaya, Raja Mataram termashur pada zamannya.

Sunan Geseng memiliki nama asli Cokrojoyo, nama sunan geseng disematkan setelah ia menyelesaikan ujian kesetiaan yang diberikan oleh Sunan Kalijaga. Awalnya Sunan Kalijaga mendapati Cokrojoyo sebagai seorang pemuda yang miskin, yang bermatapencaharian sebagai seorang penderes nira kelapa (pembuat gula merah). Ia hidup riang, suka bernyanyi sebelum dan saat memanjat pohon kelapa, kebetulan Sunan Kalijaga lewat dan menghampiri beliau. Sunan Kalijaga menyarankan Cakrajaya untuk mengganti nyanyi-nyanyiannya dengan membaca basmalah setiap mau mengerjakan sesuatu, tak terkecuali saat hendak memanjat kelapa. Hasil setelah amalan itu dilakukan ternyata sangat signifikan, air nira kelapa yang dihasilkan sangat melimpah, uang yang diperoleh sangat banyak, mengetahui orang yang menasihatinya orang yang luar biasa, lalu semenjak itu Cokrojoyo mengembara, mencari-cari Suanan Kalijaga untuk meminta beliau sudi menjadi gurunya.

Perjuangan dan pencarian berakhir manis, Ia bertemu Sunan Kalijaga saat beliau dalam tugas Kerajaan demak menuju Dilangu. Sunan Kalijaga berhenti dan sholat, ia namun tak menemukan air hingga ia melihat clering-clering didekat bebatuan dan ia perbesar dengan tongkatnya. Daerah tersebut hingga sekarang kecukupan air, dulu hanya clering2, kini diberi nama clereng dan karna ijin Alloh swt airnya tak pernah berhenti memancar hingga hari ini. Selanjutnya Sunan Kalijaga mengajak cokrojoyo kesebuah batu, ia meminta cokrojoyo menunggunya diatas batu tersebut sembari menghayati diri, serta membaca dan mengingat Alloh swt. Cokrojoyo pun ditinggalkan Sunan Kalijaga menuju Dilanggu, Beliau menancapkan tongkatnya tidak jauh dari tempat Cokrojoyo berzikir.

Setelah menuntaskan tugas dan telah menempuhperjalanan jauh, Sunan Kalijaga akhirnya kembali menjemput Cokrojoyo. Karna sudah bertahun-tahun lamanya, tak terasa hutan yang dulu tak begitu lebat kini berubah menjadi hutan yang sangat lebat dan ditumbuhi semak belukar, setelah usai sholat beliau mencari tongkat yang ditancapan dulu berharap petanda itu ketemu, namun karna rimbun dan sangat gelapnya hutan, benda itu tak ditemukan, akhirnya setelah lama berfikir dan berdoa mencari petunjuk Alloh, Sunan Kalijaga dengan sedih membakar hutan dan semak belukar tersebut. Beliau mengira Cokrojoyo telah wafat. Namun ternyata Cokrojoyo saking khusuknya tak tau ada api membakar dirinya, hingga sebagian dirinya terbakar. Melihat hal itu Sunan Kalijaga lantas menyelamatkannya dan akhirny Sunan Kalijaga menerimanya sebagai muridnya. Semenjak itu, ia dipanggil Suanan Geseng, sedangkan daerah yang tanahnya dibakar tersebut berubah lebih gembur, orang dulu bilang lebih mblubuk, dan semenjak peristiwa itu sunan kalijaga menamai daerah itu BLUBUK, sedangkan setelah sekian ratus tahun tongkat tersebut kini berubah jadi pohon yang dikenal oleh masyarakat sebagai pohon walikukun. 

[caption caption="Pohon terbesar di dunia, Walikukun belum sebesar ini, foto akan diupload dalam waktu dekat. Doc.Fotosejarah"]

[/caption]

Sunan diyakini memiliki keturunan didaerah tersebut, walaupun belum ditemukan prasasti atau bukti tertulis tentang itu. Masyarakat awam tak pernah mempermaslahkan apakah dianggap atau tidak. Namun yang pasti niali-niali kearifan budi pekerti, sikap hidup yang luhur sunan terlihat tertanam kuat pada keseharian masyarakat sana. Dalam sisi kesaharian sunan yang sederhana, masyarakat pun demikian, bahkan sampai urusan makan kesukaan, sunan suka makan ikan gabus (kuthhuk.jawa), masyarakat bahkan malah punya hari khusus makan bersama hidangan tersebut, layaknya orang amerika makan kalkun bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun