Mohon tunggu...
Dwilia Delfi
Dwilia Delfi Mohon Tunggu... -

Guru Desa Terpencil\r\nSeorang guru yang selalu berusaha untuk terus belajar, dari anak-anak desa yang setiap hari memberi makna dan tafsir berbeda tentang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jalur Terjal dan Berbatu Adalah Jalan Penaku

21 November 2014   18:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:13 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Salah satu jalur yang harus ku lalui dengan sepeda motor

Sebagai Guru, aku tentu saja tak boleh mengeluh. Guru adalah profesi pilihanku sekaligus sebagai jalan hidup, sebagai profesi aku mendapatkan bayaran sebagai guru dan sebagai jalan hidup, aku menganggap bahwa guru adalah sumbangsih untuk bangsa dan kehidupan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dan mencerdaskan kehidupan anak Bangsa.

Sejak awal 2010, aku diangkat menjadi guru dan ditempatkan di wilayah terpencil, di wilayah yang jarang dikunjungi oleh orang. Wilayah yang harus ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih 6 jam dari Kota Metro tempat tinggalku, jika menggunakan kendaraan umum, itupun harus berganti beberapa kali dan dilanjutkan dengan naik ojek ke lokasi Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02 Sidoharjo Kecamatan Kelumbayan Barat Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Semula aku selalu berangkat naik angkutan umum (Bis dan berganti mobil bak terbuka dan ojek), kebiasaan itu kujalani hampir lebih dari setahun, hingga kemudian aku memutuskan untuk membawa sepeda motor karena bisa mempercepat jarak tempuhku menjadi 4 jam. Aku selalu berusaha menjalani itu dengan semangat dan ketulusan, karena hanya dengan begitulah aku bisa mengusir lelah dan kejenuhan.

Setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, termasuk anak-anak di Desa Sidoharjo, saya tak ingin mereka memiliki beban masa depan sebagaimana yang dijalani orang tua mereka hari ini. Hidup tanpa penerangan dan akses komunikasi, membiayai hidup dengan naik-turun gunung sekedar untuk mencari kayu bakar, batu-batu gunung dan pasir untuk kembali dijual, meski sebagian lainnya memiliki kebun dan tanah.

Di Sekolah dasar tempatku bekerja, mengajar sekaligus belajar, juga terdapat Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Satu Atap 3 Kelumbayan Barat, mungkin teman-teman jarang dan mungkin sama sekali tak pernah mendengar sekolah Satu Atap (Satap). Ya, SMP itu satu atap dengan SD kami yang para pengajarnyapun guru yang mengajar di SD, karena tak memiliki gedung sendiri, maka menumpang di SD maka jadilah SMP Satu Atap. Banyak dari para murid SD yang melanjutkan ke SMP Satap 3 itupun karena gratis.

Aku menyadari bahwa perjalanan yang kutempuh bukanlah perjalanan yang mudah, harus melalui jalanan panjang melewati kota memasuki kampung-kampung, mendaki gunung yang kiri-kanannya jurang, jalan berbatu dan licin, tak jarang jatuh pun sering kualami, di samping aku harus meninggalkan kedua anakku yang masih kecil bersama suami, tapi aku akan lebih menyesal jika membiarkan anak-anak desa itu menyongsong masa depannya dengan cara yang tak jelas.

Aku memang tak biasa menulis dan tak pernah mengajarkan cara menulis yang baik bagi anak-anakku di sekolah, karena aku hanya mampu mengenalkan huruf dan angka kepada mereka, agar mereka bisa menuliskan nama dan cita-citanya dengan baik. Tak ada fasilitas menulis yang bisa mereka nikmati sebagai anak-anak kota, selain dari buku dan pensil.

Suatu ketika aku membacakan cerita tentang pola hidup sehat kepada mereka, dengan harapan mereka bisa menjaga kebersihan tempat tinggal dan lingkungannya. Di akhir cerita, aku menanyakan “Dimana anak-anak harus buang air besar?” Aku berharap mereka bisa menjawab seperti cerita dari buku yang kubacakan kepada mereka. Tapi, dengan kompak mereka menjawan: “Di kebun bu...” Tak ada yang salah, karena kehidupan mereka memang berbeda dari apa yang diceritakan di buku-buku pelajaran itu.

Cerita anak-anak SMP pun tak jauh berbeda dari cerita anak-anak SD tersebut, tak ada yang bisa dibanggakan jika bicara prestasi sebagaimana anak-anak sekolah di Kota yang fasilitasnya lengkap, tapi tentang semangat hidup dan kemandirian kepada merekalah anak-anak di kota harus belajar, termasuk akupun harus belajar dari mereka.

Mereka telah diajarkan oleh alam dan kerasnya hidup, untuk menghadapi masa depan bukan oleh sekolah, untuk itu aku selalu berusaha untuk memahami dan memaklumi jika mereka tak masuk sekolah, pasti ada tuntutan yang lebih penting dari sekedar sekolah, tuntutan bukan hanya agar mereka bisa tetap sekolah, tetapi bagaimana mereka juga tetap hidup.

SMP satu atap sebenarnya adalah bentuk jawaban dan kepedulian pemerintah atas kekhawatiran orang tua atas mahalnya biaya pendidikan, karena untuk membiayai hidup anak-anak itupun tetap juga harus tetap bekerja meringankan beban orang tuanya, sehingga jika ada proyek-proyek pembangunan yang masuk ke desa itu, anak-anak itu terpaksa bolos sekolah untuk sekedar mengambil pasir dan bantu kemudian dijual kepada perusahaan yang mengerjakan proyek-proyek tersebut, dan hal sama juga berlaku pada saat musin tanam dan panen, mereka akan lebih memilih berkebun

1416542891318935252
1416542891318935252

Foto : Anak SD dan SMP Satu Atap bermain bola saat jam istirahat

Program Guru Menulis kompasiana bekerjasama dengan www.tanotofoundation.org ini memaksaku untuk menulis sebagai tanggungjawab sebagai guru, dan tulisan ini sepenuhnya aku dedikasikan untuk mereka dan murid-muridku, apalagi jika mengingat Yayasan Tanoto memiliki misi bekerjasama dengan masyarakat dan mitra untuk mencari solusi terhadap akar permasalahan kemiskinan melalui cara:  (1) Mengembangkan dan menerapkan program-program inovatif, (2) Membangun kapasitas dan memberdayakan penerima manfaat, (3) Bekerja bersama mitra dan mendukung program-program yang dilaksanakan oleh mitra, dan (4) Mendokumentasikan dan berbagi praktek-praktek terbaik kepada masyarakat.

Harapan terbesarku, saat orang atau tonatofoundation mulai membaca tulisan ini, akan banyak yang peduli dan salah satu generasi bangsa ini terselematkan. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun