Oleh : Dwi Lestari Wiyono
Â
Aku menyebutnya bahasa. Aku memanggilnya bahasa. Ya, sebuah bahasa yang mempertemukan, mempersatukan aku dengan dirinya sang iblis. Bahasa, sebuah bahasa yang Tuhan berikan khusus untukku. Aku memanggilnya dalam diam. Aku menyebut namanya kala mengalami kegundahan. Aku tak mengerti terkadang, Mengapa bahasa bisa membunuh banyak harapan hanya dengan satu ucapan? Mengapa? Naif. Kosong.
Â
***
Seperti apa rupa iblisku ketika ia menjadi manusia bumi? Tampankah? Rupawankah? Iblisku adalah contoh makhluk Tuhan yang amat membanggakan dirinya. Ia tak mungkin terkalahkan. Ia selalu menunjukan kelebihannya di hadapanku. Aku tahu kau makhluk yang mendekati sempurna. Ia amat mengagumkan, kuakui.
"Mikael, korban berikutnya aku menginginkan ia yang menjadi saingan bisnismu. Jadi, kau tak perlu kaget bila suatu hari tak lama lagi kau mendengar kabar buruk tentangnya."
"Tapi, ia masih familiku. Ia masih satu leluhur denganku."
"Mikael, berapa kali kukatakan jangan pernah membantahku. Masalah korban aku yang menentukan. Aku tahu yang ku mau."
"...."
"Mikael, Apa kau sudah menemukan ia yang selama ini kau cari?"
"Maksudmu iblis ...?"
"Pemutus perjanjian? Pemutus perjanjian itu, Apa kau sudah menemukannya?"
Deggg.
Â
***
Â
Ukur kekuatanmu. Ukur kedigdayaanmu. Aku iblis tahu benar berapa kadar ilmumu. Aku bukan Tuhan Sejati. Aku bukan Tuhan Yang Esa. Aku bukan penulis skenario maupun sutradara handal. Aku hanya menjadi penyunting bagi para pengikutku. Pengikutku tak banyak karena aku mencarinya berdasarkan tanda. Aku tak bodoh.Â
Sedari awal aku sudah tahu bahwa suatu saat aku akan dipertemukan dengannya. Entah secara tidak sengaja atau kebetulan. Naluri, suara hati kecilku mengatakan tak lama lagi, tak lama lagi aku akan bertemu dengan seorang kasatria dari negeri Cahaya. Apa nama tempat ia berasal? Adikku sang waktu pernah mengatakannya padaku. Apa nama gerangan planet tersebut?
Â
** *
Â
Gugurnya bintang-bintang tak akan menyilaukan matamu. Gugurnya bintang-bintang tak akan membuatmu jatuh dan luluh seperti air. Andaikan aku adalah bintang-bintang yang tengah berguguran, Maukah kau menghidupkanku kembali dengan bahasa? Sebut aku dalam diam. Sebut aku dalam lantunan yang kau rahasiakan nadanya. Jangan bersedih, jangan tumpahkan air matamu manakala kau tak lagi melihat bintangku di langit. Cinta itu luas. Kasih itu luas. Sebut aku dalam doamu. Beri aku ketulusan dalam helaian, untaian doamu.
"Nenek, Mikael ingin berdoa untukmu."
bersambung ...
Â
(2017/2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H