Oleh : Dwi Lestari Wiyono
Â
"Mikael, Apa maumu?"
Â
***
Â
Mataku terpejam untuk kesekian kalinya. Aku tak mengantuk, aku tak benar-benar ingin beranjak tidur. Ku dapati cangkir kosong yang sayang untuk di lewatkan begitu saja. Satu cangkir kopi buatan daerah lokal telah siap untuk ku nikmati. Ini kopi daerah setempat, lokal belum mencakup nasional namun rasanya tak kalah nikmat dengan kopi-kopi kelas nasional yang keseluruhan hasilnya diekspor ke berbagai benua. Apa merek kopinya? Kuraih bungkus kopi kosong tersebut, hemmm ... kopi ini bernama "Rasa Citra", kopi berampas tebal yang mengingatkanku bahwa hidup tak selamanya bisa kau lihat dari sebuah nilai. Sebuah merk kopi ternama buatan daerah penyangga ibu kota. Ahh ... nikmat, walau harga kopi kemasan tersebut hanya berkisar seribu lima ratus rupiah saja. Kenikmatan itu tidak harus kau tebus dengan nominal yang mencengangkan. Kenikmatan itu ada bila kau mau belajar untuk menerima dan mensyukuri sekecil apapun karunia yang diberikan Tuhan pada dirimu. Sebuah rasa tidak perlu kau seduh dengan kesombongan. Sebuah rasa bagaimana pun rasanya hendaknya kau siangi dengan cinta dan kasih. Bukankah Tuhan selalu mengajarkan pada kita tentang cinta berikut kasih. Kasih tak terbentur pada jarak. Kasih tak terbentur pada penamaan dan siapa . Dan kasih hendaknya tidak terbentur oleh penilaian sepihak. Andaikan aku mengabdi pada Ia yang tak bernama itu bukan berarti menjadikan diriku seseorang yang tidak memiliki dan mengenal kasih. Kasihku ada namun aku hanya memberikannya pada ia yang terpilih. Ia yang kelak akan memulihkan keluargaku dan membebaskan keluargaku dari jeratan perjanjian yang telah mengikat kami selama lebih dari satu dasawarsa. Satu dasawarsa? Amat pendek untuk sebuah perjanjian. Aku hanya mengambil inti dari perjanjian tersebut. Perjanjianku di mulai satu dasawarsa yang lalu. Apa kau ingin tahu berapa usiaku kala menandatangani perjanjian tersebut? Itu rahasiaku, yang pasti kau akan tercengang bila berhadapan denganku. Aku tidak dapat  kau tebak. Aku tidak dapat kau usik karena aku yang terpilih.
Iblis lantunkan bahasamu padaku agar aku semakin sempurna. Nyanyikan lagu yang biasa kita lagukan pada saat sang surya mulai tenggelam. Nyanyikan lagu yang biasa kita nyanyikan pada saat langit, awan, juga mega membentuk kesatuan. Iblis, beri aku kekuatan sejatimu.
Â
bersambung ...
Â
(2017/2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H