Oleh : Dwi Lestari Wiyono
Â
Terimakasih untuk dukunganmu padaku bu. Terimakasih.
***
Aku tak mengerti untuk apa memori diciptakan. Untuk apa ingatan? Dan untuk apa semua kenangan bila itu hanya menimbulkan luka? Lembaran-lembaran lampau tersusun dalam sendi napasku. Aku tidak bisa melupakan suara lolongan, tangis, teriakan mereka. Aku tidak bisa melupakan tatapan kemarahan dari semua korbanku. Aku, lantas bisa apa?
Â
Kulumuri tanganku dengan sabun anti septik dan kubasuh ia dengan air mengalir yang tentu saja dari keran rumahku. Aku bersyukur, amat bersyukur dengan apa yang kumiliki. Aku bersyukur walau dibalik itu semua aku telah banyak memakan korban jiwa. Aku ingin menghentikan perjanjian ini. Aku benar-benar ingin terlahir kembali menjadi pribadi yang baru. Pribadiku seutuhnya, Mikaela Aelo Joseph.Â
Zaman sudah berubah nek. Aku ingin mengakhirinya, aku ingin mengubahnya. Aku ingin keluarga kecil kita terlahir kembali menjadi keluarga yang dilimpahi kasih sayang Tuhan. Aku ingin keluarga ini diberkati, dilindungi seutuhnya. Terberkatilah Engkau Tuhan. Salam sejahtera. Salam kasih. Salam damai.
Â
***
Â
Pria asing itu berkata mengenai titik yang harus kutemui. Keterangan-keterangan berikut kunci pembuka yang harus kutemukan berceceran, berserakan di tempat-tempat yang tidak aku duga. Bisa saja itu ada pada satu kalimat pendek pada sebuah karya sastra atau keterangan kunci tersebut tercetus begitu saja dari mulut seorang bocah mungil yang belum mengenal dosa.Â
Entahlah aku tidak tahu. Hanya saja aku berharap kepekaan ini mampu untuk membauinya sedari dini. Menggeliat tubuh menahan kantuk melihat malam yang semakin larut dengan tatapan memandang jauh. Pukul satu dini hari, waktunya beristirahat mengistirahatkan semua fungsi tubuh, menutup kedua mata barang sejenak. Malam nek, malam kawan.
Â
***
Â
Saat reinkarnasi pertamaku terjadi adalah kala bumi belum tercipta. Perputaran masa, era terus melaju hingga tak terasa aku hidup di abad kini. Waktu di mana bumi sudah menunjukkan kerapuhannya. Waktu di mana aku terlahir sebagai orang tua tunggal bagi putra semata wayangku Nicholas Aelo Joseph. Ya, Nicholas yang aku rawat secara resmi dari sebuah yayasan sosial. Aku jatuh hati padanya saat kami pertama kali bertemu.Â
Nicholas adalah hidupku. Nicholas adalah rambu-rambu, alarm pengingat bagi diriku. Aku tidak tahu apa jadinya diriku bila tidak bertemu dengannya. Mungkin aku akan menjadi seorang pria yang tidak terkendali yang semakin haus akan korbannya. Perjanjian itu perlahan menyatu dalam tubuhku.Â
Perjanjian itu perlahan mengambil tempat di jiwaku. Aku bisa tersingkir. Aku bisa sungguh-sungguh lenyap dari muka bumi ini. Kau akan tetap melihat wujud fisikku namun kau tak akan pernah melihat jiwa serta ruhku didalamnya. Perjanjian ini mengambil tempatmu tanpa ampun. Ragamu adalah ragamu namun jiwamu bukan jiwamu. Kau mengerti ...?
Â
***
Â
Sebuah pesan singkat muncul dari seorang kawan; pergilah ke tempat biasa aku memanjatkan doa, aku akan menemuimu tepat pukul satu siang. Tempat untuk memanjatkan doa? Untuk apa ia mengajakku bertemu di tempat tersebut? Untuk apa? Ada-ada saja kawanku ini. Baiklah aku akan menemuinya selepas meletakkan sesaji di altar doa. Nenek Mikael pamit, jaga aku nek.
Â
bersambung ...
Â
(2017/2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H