Oleh : Dwi Lestari Wiyono
Â
Mereka tidak memilihmu
Mereka tidak menginginkanmu
Tapi aku tanpa sengaja menjadikanmu sebagai persembahan bagi Tuanku
Maaf dan maaf bila aku membuat tidurmu tak tenang
Maaf. Hanya itu.
***
Â
Bagaimana bisa aku memaafkannya? Bagaimana bisa? Nenek berdusta padaku. Nenek serta iblis kawanku bersekutu untuk menjeratku. Ternyata ini semua bagian dari tipuan mereka. Bagaimana bisa? Tidaakkk ...!
Aku tidak tahu bagaimana permulaannya. Persengkongkolan ini tercium begitu saja secara kebetulan. Aku yang pada mulanya sudah bersikeras untuk tidak melanjutkan garis keturunan keluarga malah terjerat. Ya ... garis keluargaku yang keras, garis keluargaku yang kelam; garis dengan nuansa gejolak bergelombang. Di mata mereka penilaian dunia di atas segalanya. Citra ... citra dan citra, tunjukan citramu sebagai bagian dari keluarga ini. Tunjukkan kelasmu, tunjukkan wibawamu. Omong kosong! Munafik! Kalian semua penipu!
Â
***
Â
Iblis sebenarnya, Seperti apakah rupanya? Apakah ia akan benar-benar merenggut jantungku ketika kami pertama kali bertemu? Atau apakah ia akan langsung menghisap darahku seketika tandas sebagai awal dari perjanjian? Ini semua omong kosong. Aku sangatlah bodoh. Mana ada perjanjian tanpa tumbal? Mana ada perjanjian yang tidak menjadikan darah sebagai bukti dari perjanjian tersebut? Mana ada? Mana ada? Aku bodoh! Sungguh terlalu.
Â
Mimpi ... ini mimpi. Tanpa sadar aku sudah terjerat. A ... K ... U ... T ... E .... R ... J ... E ... R ... A ...T. Sudah.
Â
***
Â
Perjanjian ini bertahtakan namaku sebagai penerusnya, Mikhaela Aelo Joseph. Darahku melekat pada sehelai kertas tak kasat mata yang hanya bisa dilihat oleh aku dan sang pemberi perjanjian. Iblis itu tidak ada. Iblis itu tidak nyata. Hanya kegelapan yang memelukmu dalam diam. Aku terdiam dan membisu kala sang pemberi perjanjian menampakkan wujudnya padaku untuk pertama kalinya.
"Halo, Mikael mulai saat ini kita adalah teman. Lakukan tugasmu dan aku pun akan melakukan tugasku dengan baik. Kepercayaan dan kesetiaan adalah segalanya. Benar begitu ...?"
Ia menyapaku dalam dinginnya malam. Ia menyapaku saat mentari tengah bersembunyi di pekatnya cahaya rembulan. Tak ada rembulan yang berwarna pekat. Tak ada rembulan yang berwarna kelam. Yang ada hanyalah wujud dari ketakutanmu yang membias. Akui sajalah bahwa kau sebenarnya sudah mengetahui bahwasanya pasti akan terjadi. Tak perlu menyangkal. Aku tahu kau pasti menyangkal. Iblis menghujani aku dengan kata-kata, kalimat-kalimat yang membuat aku terpana. Kau pikir dari mana kejayaan keluargamu? Kau pikir dari mana kekuatan yang kau sebut pemberian anugerah dari Tuhan? Kau pikir dari mana semua itu? Itu dariku. Dariku Tuhan duniamu. Iblis kau ... mengguncang dunia ciptaanku.
Â
***
Â
Ibu, Apakah kau melahirkanku hanya sebagai alat? Ibu, Apakah aku demikian tak berarti bagimu? Lantas, Mengapa kau pergi sebelum aku membuka mataku? Ibu .... Apakah benar firasatku bahwa kau menukar nyawamu demi nyawaku. Ibu.
Â
***
Â
"Papa ..., Apa menu makan siang kali ini? Â Kenapa Papa tidak pilih menunya. Papa ... Papa, Nicholas bertanya padamu. Papa ... Papa."
"Ya nak, Apa yang tadi kau tanyakan. Maaf Papa kurang enak badan. Bisa kau ulang Nicholas."
Â
bersambung ...
Â
(2017/2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H