Oleh : Dwi Lestari Wiyono
Â
Perjanjian baruku menuntut kejujuran. Perjanjian baruku menuntut keyakinan. Bisakah aku melewatinya ...?
Â
***
Â
Aku gelap. Aku pekat. Aku kelam. Tak ada yang salah dan berbeda dariku, aku sama seperti yang lain. Roman wajahku normal, bahkan sebagian orang menilaiku memiliki paras bangsawan istilah bagusnya priyayi. Aku hanya tersenyum bilamana mereka memuji rupa dan parasku. Aku biasa saja, itu menurutku.
Â
Perjanjian lamaku tidak membutuhkan tumbal manusia. Perjanjian lamaku tidak membutuhkan darah segar sebagai penyemangatnya. Perjanjian lamaku hanya menuntut kesetiaan dari sang pemilik perjanjian, yakni diriku sendiri. Aku mengorbankan, menyerahkan diriku seutuhnya jiwa dan raga pada perjanjian lamaku. Aku memberikan (menumbalkan) diriku sendiri sebagai pertukaran atas perjanjian lamaku. Aku tak ingin orang lain, orang yang tak ada kaitannya dengan apa yang kulakukan mengambil alih tanggungjawab tersebut. Aku masih punya hati. Apa skema perjanjian yang kau ambil saat ini? Boleh kutahu?
Â
Iblis datang padaku di suatu siang di Roma. Ia menghampiriku dan menawarkan perjanjian padaku. Aku terpikat padanya entah mengapa. Serasa ada dorongan yang kuat dari hati untuk mengamininya. Kutinggalkan Tuhanku, kutanggalkan keyakinanku demi dirinya. Mulai detik itu aku adalah hambanya. Hamba dari seorang iblis.
Â
Apa makna kebenaran bagimu? Apa makna kejujuran bagimu? Semua itu bagiku hanyalah ilusi. Tidak ada kebenaran dan kejujuran sejati selama kau memakai kacamata dunia sebagai dasar penilaianmu. Sebuah pembungkus takkan elok bilamana ia hanyalah pembungkus semata, terlihat basi; monoton. Diperlukan manik-manik, rumbai-rumbai sebagai pemanisnya. Sesuatu yang berlebihan itu tak baik. Sesuatu yang berlebihan itu tak bijak. Bijaklah kau dalam memilah dan melihat sesuatu. Aduh ..., Mengapa aku mendadak seperti orang yang sedang memberikan pencerahan? Ada apa denganmu Mikael?
Â
***
Â
Dupa menyeruak dari kamar mendiang nenekku. Apa nenek sedang mengunjungiku? Kulirik arloji pada pergelangan tangan kananku, uppss ... waktunya berbelanja. Aku harus membeli beberapa kebutuhan termasuk sesaji. Segera. Meluncur Jakarta ....
Â
***
Â
Komet itu meluncur tepat di hadapanku. Ini bukan kiamat, ini bukan akhir. Lega rasanya mengetahui ini hanyalah mimpi di siang hari saja. Kuamati langit, kupandangi semesta, mentari masih bersinar dengan gagah itu tandanya umur dunia masihlah panjang. Dunia bertahanlah dan jadilah saksi atas kehidupanku. Ku mohon.
Dunia aku pamit sejenak melanjutkan tidurku yang tertunda.
Â
bersambung ...
Â
(2017/2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H