Oleh: Dwi Lestari Wiyono
"Terimakasih ucapku padamu tuan karena telah memberikan seribu nyawa padaku."
***
Aku berkelana seperti kebiasaanku pada umumnya, mengulang langkah menelusuri jejak setapak demi setapak. Adalah aku seorang pria penyendiri bersikap layaknya seorang filsuf; pemikir sejati. Adalah aku seorang pria yang terkadang merasa seperti seekor katak dalam tempurung hanya karena aku tidak bisa menguraikan masalahku dengan bijak. Menjadi berbeda bukanlah suatu keistimewaan bagiku, bahkan aku cenderung menjadi takut bilamana apa yang terjadi sesuai; nyata dan sama persis dengan apa yang terlihat olehku. Aku tahu berkat ini perlahan membelengguku dengan atau tanpa kusadari. Berkat yang diberkati.
Â
"Ivone sudah kau kemasi barangmu? Jadwal keberangkatanmu tak lama lagi sayang, bersiaplah."Â
Hujan deras bercampur angin kembali mengguyur kota kecil ini; kota mungil, kota berjuta kenangan yang selama ini kurindukan.Â
"Ini tak seperti ibu kota, aku suka ini bu, kita ambil tempat ini."
Ini kota di mana aku harus menetap. Tata letaknya sama persis dengan apa yang kupikirkan, lanskapnya membayangiku entah apa. Aku akan menemukan apa yang kucari di kota ini. Akan kutemukan. Pasti kutemukan.
"Ivone sarapanmu sayang, ibu sudah membuatkan roti lapis kesukaanmu extra selai kacang plus taburan kacang almond didalamnya."Â
"Ibu, kalau boleh sekali ini saja aku ingin sarapan dengan semangkuk bubur saja. Bubur putih kental dengan irisan ayam panggang. Aku merindukan rasa itu bu."
"Ivone ...."
Â
Mengapa aku lebih memilih tanah kelahiranku dibandingkan tempat di mana aku menghabiskan waktuku belakangan ini?Â
Dorongan itu begitu kuat entah kenapa aku harus kembali ke tempat di mana aku dilahirkan.Â
"Kulitmu nampak pucat dan wajahmu menegang. Apa kau baik-baik saja?"
"Oh, ya perkenalkan aku Abimayu, Setya Abimayu dari Indonesia.
"Aku Ivone Unggul Putra Pratama. Panggil saja aku Ivone, aku pun berasal dari Indonesia."Â
"Wah ..., aku tadi sempat menyangka bahwa kau Ivone penduduk asli negara ini. Karena wajahmu bukanlah wajah negeri tropis pada umumnya. Maaf, aku ini sok tahu ya."Â
"Tak masalah, santai saja kawan. Apa mungkin ini karena parasku yang terlalu menawan. Tahukah kau kawan bahwasanya wajahku mengutukku. Haha ... hahaha, tentu saja aku bergurau."Â
Penghujung 2022 entah mengapa secara tiba-tiba aku teringat seorang kawan yang belum lama aku kenal. Ia pun mengatakan secara jelas padaku bahwa ia bermukim di tempat ini negeri tropis ini.
"Roti ... roti."Â
"Roti sorenya pak ...."Â
"Rotinya bang. Tolong, berikan aku roti dengan toping keju."
"Toping ...?"Â
"Maksudku rasa keju pak, aku ingin roti rasa keju. Berikan aku dua pak."
Hmm, Di mana aku harus memulainya? Ngomong-ngomong roti ini cukup enak. Berapa tadi harganya? Tujuh ribu rupiah untuk satu buah roti. Harga yang masuk akal.Â
***
Pembunuh. Pembunuh. Kau membunuhnya agar ia tak kembali padaku. Kau membunuh rasanya padaku secara perlahan secara sadar. Kau sengaja. Kau merebutnya. Keparat kau Ivone!
Â
Ada lelehan api dalam tubuhnya. Ada bara yang belum sempat ia padamkan. Apa itu dendam?Â
Tuan berapa lama lagi aku harus menunggu. Â
Apa yang membuatmu kembali ke tempat ini? Bukankah di tempat sebelumnya usahamu cukup maju? Berjuta sanggahan maupun pertanyaan memenuhi batin pikirku. Aku hanya mengikuti dorongan hatiku saja. Aku mengikuti intuisiku. Aku memberikan sejumlah pembelaan untuk tindakanku yang kerap sukar ditebak, di luar nalar.
"Apakah kau masih mengandalkan hatimu dalam setiap keputusan maupun tindakan yang kau ambil Ivone?"
"Seratus persen kawan. Aku mempercayai apa yang hatiku katakan. Hati ini takkan mungkin berdusta."
Â
Roh.
Alam.
Bumi.
Semesta.
Beritahu aku keberadaannya? Beritahu aku titik tepatnya?
"Ivone? Apa yang kau lakukan?"
"Ibu ...?"
Â
Kau yang memanggilku? Kau yang mencariku? Bagaimana kau tahu bahwa aku selalu mendengar apa yang kau katakan meski kita belum pernah bertatap muka?Â
"Ivone ini sudah siang, berangkatlah kemacetan akan mengurungmu tak lama lagi."
Â
Matahari.
Bulan.
Bintang.
Pastikan bahwa itu dirinya, letak koordinat.
Â
Satu hari sama dengan dua puluh empat jam. Satu jam sama dengan enam puluh menit. Satu menit ....
Â
Satu.
Dua.
....
Itu kau 'kan yang memanggil namaku? Burung bodoh, Apa peranmu saat ini?
"Milenia, Apa yang kau tunggu? Pesanannya sebentar lagi datang, ayo masuk."
Hujan.
Hujan.
Ada yang memanggilku dengan hujannya?Â
Hujan.
Â
"Milenia yuhhuuu ... saatnya kita makan. Ngomong-ngomong, Apa kau tadi melihat seorang pria yang berdiri lama di tengah hujan? Pria itu terlihat aneh menurutku."
"Seorang pria? Aneh?"
"Melow! Milenia cepat masuk perutku sudah merintih minta makan. Ayo!"
Milenia.
Â
Apa itu kau kasatria kelam?Â
"Milenia aku ambil jatah makan siangmu loh. Milenia ...?"
Kelam.
Â
-Selesai-Â
Â
(2017/2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H