Dinding ini kau buat dengan hatimu. Kau menggoreskannya seolah dinding ini tak mungkin dan tak akan mungkin dapat untuk dimasuki. Lukamu begitu dalam hingga tanpa sengaja mencederai, melubangi dindingmu yang kau anggap kokoh. Aku melihatmu sekali lagi dengan dimensi waktu pandangan yang aku miliki. Aku tak berharap kau menolehkan wajahmu sekali padaku. Aku tak nampak. Aku tak tampak. Rupaku pun tak terlalu elok. Tapi, Bukankah aku terasa nyata bagimu?
Â
Lagi-lagi wajah itu terlihat jelas di pelupuk mataku. Wajah yang tak sengaja terbentuk oleh tetesan hujan. Wajah bertekstur yang tanpa sengaja mengingatkanku akan keberadaanmu. Kau begitu nyata bagiku. Kau begitu dekat denganku. Rasa-rasanya aku mengenalmu, tapi di mana.
Â
"Milenia apa enaknya panganan itu coba kau pikirkan berapa banyak penyakit yang akan hinggap bila kau melahapnya begitu saja."Â
"Tepung, minyak belum penyedap rasa dengan jumlah yang tidak sedikit berkumpul, bersekutu menjadi satu kesatuan. Itu racun. Racun dunia yang memabukkan."
"Persetan dengan racun dunia. Persetan lemak maupun kolesterol, toh mereka setidaknya mampu meninabobokan sejenak perutku yang berbunyi nyaring."
"Bang tambah rotinya satu, jangan lupa sekalian hitung kopi hitamnya dua gelas."
***
Abimayu aku akan memperkenalkanmu dengan salah satu orang terbaikku. Ialah, dirinyalah yang telah berjasa membuat salah satu kawan terdekatku di sebuah perusahaan multinasional masih setia kokoh bertengger di posisi puncaknya hingga saat ini. Ia masih amat muda namun ia sangat ahli di bidangnya. Mau kuperkenalkan? Kapan kau ada waktu?
Â
Aku berharap seseorang dapat melihatku dengan pandangannya yang lain. Aku berharap seseorang akan merengkuhku dan memberikan aku perlindungan.
"Milenia, Mengapa kau mengambil kesimpulan seperti ini? Bukankah ini sudah jelas? Pantas saja mereka dipergunjingkan, mereka selalu saja membuat kegaduhan."
"Kita tidak dapat mengambil kesimpulan seperti itu. Bukankah kau mendalami ilmu jiwa? Lalu, Mengapa hal semudah ini tidak mampu kau jabarkan?"
"Bangsa kita ini majemuk; beragam, kita tidak bisa main pukul rata untuk semua persoalan. Dan itu tidak mudah."
"Tidak semuanya bisa kau lihat dan kau nilai dari penampakan luarnya saja."
"Cieee ..., ibu kita berfilsafat."
***
Satu potong luka untuk kegelapan. Mengapa kau memanggilnya? Mengapa kau mengundangnya? Bagaimana bila kegelapan yang kau dambakan muncul secara tiba-tiba dan menyapamu tanpa kau sadari? Apakah kau siap bila ia menagih janjimu padanya?