PENDAHULUAN
Pelecehan seksual merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang mengancam martabat individu seorang anak. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan, seperti halnya kasus 13 santriwati yang ada di Bandung, yang menjadi korban salah satunya anak dibawah umur. Meskipun banyak negara telah mengesahkan peraturan untuk melindungi korban, banyak kasus pelecehan seksual yang tidak ditindaklanjuti secara memadai. Kondisi ini mengindikasikan masih adanya tantangan besar dalam penegakan hukum dan penciptaan lingkungan yang aman bagi setiap individu. Oleh karena itu, penting untuk memahami lebih dalam mengenai pelecehan seksual sebagai pelanggaran HAM dan upaya untuk menghentikannya.
PEMBAHASAN
Pelecehan seksual merupakan pelanggaran yang sangat serius terhadap hak asasi manusia karena menyangkut aspek kemanusiaan yang paling dasar, yakni martabat dan kebebasan individu apa lagi kasus ini dialami oleh seorang anak di bawah umur . Ketika seseorang menjadi korban pelecehan seksual, mereka sering kali merasa kehilangan kontrol atas tubuh mereka, yang merusak rasa percaya diri dan identitas mereka. Selain itu, masyarakat sering kali menilai korban dengan stigma yang merugikan, yang menghambat proses pemulihan mereka. Dalam konteks hukum, meskipun ada sejumlah peraturan yang melarang pelecehan seksual, seperti Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, namun penerapan dan penegakan hukum sering kali lemah, terutama di daerah-daerah dengan budaya patriakal yang kuat.
Salah satu  terjadinya kasus pelecehan seksual yang terjadi, yaitu kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati yang terjadi di Bandung. Terbongkarnya kasus ini berawal ketika salah satu korban santriwati, pulang ke rumah ketika hendak merayakan Idul Fitri 2021. Saat itu, orang tua korban menyadari bahwa putri mereka tengah hamil. Kejadian ini lantas dilaporkan ke Polda Jawa Barat serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan  dan Anak (P2TP2A) Garut. Berangkat dari laporan itu, polisi lantas melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga terungkap bahwa korban diperkosa oleh Herry Wirawan. Dari situ, ditemukan fakta mencengangkan, bahwa ternyata korban perkosaan Herry tak hanya satu, melainkan 13 orang. Dari jumlah tersebut, lahir 9 bayi dari 8 korban. "Jadi ada anak yang melahirkan dua kali. Rentang usia korban 14-20 tahun, yang terakhir melahirkan itu usia korbannya 14 tahun". Sebelum terbongkar pada pertengahan 2021, aksi bejat Herry telah berlangsung sejak 2016. Perkosaan dilakukan di sejumlah lokasi seperti ruang yayasan, hotel, hingga apartemen. Oleh Herry, para korban diiming-imingi biaya pesantren, sekolah gratis jadi polisi wanita (polwan), hingga dibiayai kuliah. "Korban ini diimingi mau jadi polwan, kuliah dibiayai sama pelaku. Terus mau kerja di mana nanti bapak yang urus gampang," kata Kuasa hukum korban, Yudi Kurnia, 21 Desember 2021.
Kasus ini pun bergulir di persidangan. Di meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Herry Wirawan mengakui tindakan biadabnya, memerkosa 13 santriwati. Herry Wirawan mendapat vonis hukuman mati dari hakim Pengadilan Tinggi Bandung, yang mengabulkan banding dari jaksa, atas kasus pemerkosaan 13 santriwati. Herry juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian atau restitusi. Sedangkan biaya restitusi yang harus dibayar Herry senilai Rp 300 juta lebih. Setiap korban yang jumlahnya 13 orang akan mendapatkan restitusi dengan nominal beragam. Vonis yang diterima Herry ini lebih berat dari putusan Pengadilan Negeri Bandung yang menghukumnya dengan penjara seumur hidup pada Februari lalu. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum menuntut Herry dengan hukuman mati. Jaksa lalu mengajukan banding atas vonis hukuman seumur hidup itu ke Pengadilan Tinggi Bandung.Â
masih banyak lagi kasus-kasus mengenai kekerasan seksual yang terjadi di indonesia. Hal ini harus segera di tindak lanjuti lebih tegas lagi agar tidak ada lagi kasus yang serupa terjadi, apa lagi menyangkut anak di bawah umur yang mengancam masa depannya. Â Lebih lanjut, banyak faktor yang memperburuk masalah pelecehan seksual, seperti kurangnya pendidikan mengenai hak asasi manusia dan gender, serta norma sosial yang menganggap pelecehan seksual sebagai masalah pribadi atau masalah yang seharusnya diselesaikan dalam keluarga. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan yang lebih komprehensif untuk menangani masalah ini, termasuk pendidikan, advokasi, serta perubahan budaya yang mendalam di masyarakat.
PENUTUP
Pelecehan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mengancam martabat individu, dengan dampak psikologis yang sangat merusak bagi korban. Penanganan masalah ini memerlukan pendekatan yang lebih holistik, yang mencakup perubahan dalam sistem hukum, pendidikan, serta kesadaran sosial. Masyarakat perlu diberdayakan untuk melawan norma-norma yang menganggap pelecehan seksual sebagai hal yang bisa dimaafkan atau tidak penting. Reformasi hukum yang lebih tegas dan perlindungan bagi korban juga sangat diperlukan agar pelecehan seksual dapat diminimalisir dan martabat manusia tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKAÂ
H. N. Yatim, Pelecehan Seksual dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Hukum, 2019.