Selalu saja ada drama pengkhianatan. Kita bisa melihat sendiri AHY, Pak Beye dan elite Partai Demokrat yang marah dan kecewa karena merasa dikhianati Anies Baswedan yang memutuskan cawapresnya ternyata Cak Imin. Sebuah keputusan sebagai mahar karena PKB menyebrang dari koalisi di Koalisi Indonesia Raya ke Koalisi Perubahan.
Kenapa Cak Imin memutuskan menyeberang? Karena merasa dikhianati, ada isu santer ternyata Prabowo tidak memcawapreskan dia. Padahal PKB adalah parpol  pertama yang mau merapat ke Gerindra sehingga kreteria presidential treshold terpenuhi. Tapi dalam perjalanannya, ternyata ada sosok lain yang dibidik, dan benar ternyata cawapresnya adalah Gibran.
Sedangkan sosok Gibran sendiri, diplot jadi jurkam pemenangan Ganjar. Menjadi hal yang masuk akal, karena ia kader PDIP dan sangat dekat dengan Ganjar. Bahkan, media pernah mengatakan. Jika Jokowi adalah mentornya Ganjar, maka Ganjar adalah mentornya Gibran.
Namun dalam perjalanannya, apa yang terjadi. Gibran justru menjadi cawapresnya Prabowo. Atas nama apa? Ya, jelas bukan atas nama kader PDIP lah. Kan memang tidak pernah minta izin ke parpolnya. Nah, bisa tidak ini disebutkan sebagai pengkhianatan?
Pengkhianatan dalam perebutan kursi kekuasaan barangkali dianggap hal yang wajar. Hanya saja, proses Gibran menjadi cawapres itu, tentu saja menyerempet Jokowi. Karena memang dia itu anaknya. Kok bisa MK meloloskan persyaratan untuk maju menjadi cawapres? Bukankah UU mengatakan usia minimal itu harus 40 tahun?
Salahkah publik menilai bahwa hal yang bisa mempengaruhi keputusan Ketua MK itu adalah Presiden, yang notabene masih iparnya? Karena keputusan MK itu sungguh tidak nalar. Karena memberi tambahan persyaratan yang jadi membolehkan. Yaitu boleh, asal pernah menjabat kepala daerah karena dilakukan dengan menang Pilkada. Lho? Bukankah yang punya kompetensi membuat UU itu ada di ranahnya legislatif? Kok bisa ada tambahan  ..
Maka dengan itu, muncul preseden kuat. Bahwa soal pencawapresan Gibran ini sudah direncanakan. Dan konon melibatkan pengaruh dinasti. Yaitu Jokowi yang jadi presiden dan Ketua MK yang paman Gibran.
Kok bisa? Ya, inilah fakta dari drama Pilpres hari ini. Jika banyak orang marah kepada keluarga Jokowi, apa ini salah? Bukankah, selama ini, banyak orang mengagumi dan mencintai Jokowi, hanya karena keluguannya semata. Bahkan sosok Jokowi adalah simbol bagi perlawanan terhadap kenaifan dan kemunafikan itu sendiri.
Tapi, ya, ampun. Kekuasaan begini memabukkan. Objektivitas dan akal sehat menjadi abai. Lha bagi yang berpikir rasional, harus bagaimana?
(Dwi Klik Santosa)Â