Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan ...
maka kami bilang : TIDAK kepadamu
KETIKA hidup kita penuh kekangan, lilitan dan tekanan, apalah arti kewajaran dan keberlangsungan? Jika kita dikaruniai kelengkapan berupa pikiran, naluri dan nurani, kenapa kita harus takluk oleh hidup yang profan? Merdeka, inilah kebutuhan manusia yang paling hakiki. Tetapi dasarnya manusia hidup dalam kejalangan ambisi, kemapanan dan status sosial telah menjadikan tujuan, dimana tahta dan harta kemudian menjilma panglima. Apa itu kejujuran? Di mana keindahan berada, jika hidup terus menetek pada kamuflase dan ketidakmasifan? Apa itu cita-cita hidup yang sejati?
Pada musim penghujan di masa Orde Baru, menggulirlah pada suatu ketika sebuah kisah. Datuk Anwar Ibrahim menjadi berita besar di seantero nasional karena kedatangannya sebagai tamu negara ke ibukota Jakarta. Di rumah Rendra di perkampungan Cipayung Jaya, yang terletak di sudut wilayah Kota Depok, suatu saat berderinglah teleponnya. Datuk Anwar Ibrahim berkenan mengundang kehadiran Rendra di sebuah tempat terhormat di ibukota. "Insya Allah, saya akan datang Tuanku," jawab Rendra.
Sekian lamanya, sebagaimana disepakati, Rendra tak datang jua menemui undangan itu. Lalu berderinglah kembali telepon di rumah Rendra. "Saya sudah berusaha menepati janji, Paduka Datuk, tapi mobil saya kering tidak berbensin, sehingga tidak dapat segera mengantarkan saya sampai ke Jakarta," kata Rendra. Oh, ... Lalu beberapa jam kemudian, datanglah mobil mewah memasuki jalan Cipayung Jaya yang berlumpur dan sudah menjadi kebiasaan pada saat musim penghujan datang.
Rendra merupakan sahabat yang terkenal dan besar namanya di Malaysia, tapi melihat Rendra yang sahaja dan sakit, meneteslah air mata Paduka Datuk. "Mas Willy, jika Anda berkenan, tinggal dan hiduplah di Malaysia. Ada rumah, fasilitas dan kemapanan hidup yang layak untuk mendukung Anda berkarya," kata Datuk Anwar.
"Terima kasih, Tuanku Datuk atas tawarannya. Tapi walau bagaimana pun, Indonesia adalah rumah saya," kata Rendra dengan tenang. Lalu mengalirlah kehangatan. Berpelukan kedua sahabat itu mengurai kerinduan masing-masing.
Begitu pula, berita-berita lain menggulirkan kisah. Rendra menolak kerjasama dan hadiah dari cukong-konglomerat penindas rakyat. Rendra menolak bantuan pemerintah asing. Rendra menolak sponsor dari lembaga dan perusahaan asing di tengah miskinnya hidup yang dijalani. Adalah manik manikam di bumi kita yang kaya akan epos legenda dan dongeng pelipur lara.
Meyakini pilihan hidupnya, Rendra kaya dalam kemiskinannya. Menjadi seniman yang 'berseberangan' merupakan pilihan yang rumit di tengah bergulirnya zaman edan yang munafik. Tapi niat telah ditetapkan. Tidak ada sewujud aral mampu mengkotak-kotak hidup manusia. Hanya dengan ketulusan dan kebesaran jiwa, maka manusia akan menjadi arif.
Sebagai seniman, kiranya Rendra punya kisah dan karisma yang tersendiri. Lebih dari setengah abad, hidupnya dipenuhi pengabdian yang mengharukan. Berbagai gerak dan laku hidupnya senantiasa mengalirkan harapan dan berbuah berita yang mencengangkan banyak orang. Tak pelak, dinamika kehidupan telah menempatkan Rendra sebagai tokoh sekaligus cermin bagi para penggandrung dan pendulang hidup bermakna. Esensi sebuah pencarian adalah pengabdian. Jika seseorang mudah marah, putus asa, dan lalu menindas, maka ia hanya menjadi sampah saja bagi kehidupan.
"Menjadi seniman harus tahan hidup dalam kesepian," kata Rendra, "maka niscaya kelak kita akan mengerti apa sebetulnya yang sedang kita cari."
Dan kemudian, ..."Aku muak kepada seniman-seniman muda yang tidak mempunyai tenaga, tidak mempunyai kegagahan jiwa, tidak mempunyai kelurusan pikiran dan pengendapan pengalaman." Inilah cetusan marah seorang Rendra yang lantas karenanya menjadi intuisi bagi para seniman dan kreator untuk bangun kembali dari keterlenaannya karena terlalu memuja keindahan tanpa ikut andil menegakkan kemerdekaan dengan laku yang jujur dan sahaja.