Mohon tunggu...
a
a Mohon Tunggu... Mahasiswa - a

a

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kisah Pilu Pemulung di Sekitar Pasar Ciwastra Bandung

9 Januari 2024   12:21 Diperbarui: 20 Desember 2024   09:39 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah keramaian pasar yang riuh dan bising di Kota Bandung, tersembunyi sebuah kisah pilu tanpa nama yang ingin disampaikan. Seorang pria paruh baya, berusia 40-an, menjalani setengah hidupnya di jalanan pasar, berkelana di antara sisa-sisa kehidupan di antara tumpukan sampah dan harapan yang semakin pudar.

Pria ini tinggal di permukiman kurang layak di sekitar pasar yang selalu ramai. Rumahnya, yang terbuat dari sisa-sisa material bekas, menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya yang panjang dan penuh tantangan. Terpaksa terlibat dalam profesi pemulung untuk bertahan hidup, pria ini terjerat dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputuskan.

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, pria tersebut bersama rekan-rekan pemulung lainnya sudah bersiap di area pasar. Mereka membawa karung-karung kosong untuk mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki nilai jual. Langkah-langkah beratnya membawa langkah-langkah kehidupan yang sulit, tangan kasarnya meraba-raba di antara sampah-sampah pasar, mencari sesuatu yang bisa dijual untuk memberi makan keluarganya.

Pendapatan harian yang ia peroleh tidaklah besar, kurang lebih 20.000 hingga 30.000 rupiah. Meski terbatas, ia bertahan dengan semangat dan keberanian untuk memberikan makan keluarganya. Wajahnya yang dulunya penuh harapan, kini terpenuhi oleh bayangan kesedihan yang terukir jelas. Namun, meski penuh penderitaan, ia masih menyimpan percikan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Kisah pilu ini semakin mengiris hati ketika kita menyadari bahwa pria tersebut harus menyekolahkan anaknya dengan keuangan yang sangat terbatas. Biaya pendidikan menjadi beban tambahan yang sulit diatasi, dan anak-anaknya, sejak kecil, menjadi saksi dari kisah hidup sulit yang dijalani ayah mereka.

Meskipun demikian, di tengah keadaan sulit ini, pria pemulung ini tidak kehilangan semangat. Setiap buku bekas yang ia temui di antara tumpukan sampah menjadi teman setianya, menjadi pelipur lara dan jendela ke masa lalu, mengingatkan pada mimpi-mimpi yang dulu pernah ia impikan.

Hidup penuh warna, bahkan di antara sampah, dan melalui kesadaran kita, kita dapat memberikan warna yang lebih cerah untuk masa depan mereka. Sebagai masyarakat, mari bersama-sama membuka mata terhadap kisah-kisah seperti ini, memahami tantangan yang dihadapi, dan bersatu untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan peduli terhadap mereka yang membutuhkan.

Begitu juga dengan pendidikan anak-anak pria pemulung ini, kita dapat bersama-sama membantu menyediakan pendidikan yang layak. Melalui bantuan beasiswa, donasi buku, atau program pendidikan komunitas, kita dapat menjadi bagian dari perubahan positif dalam kehidupan mereka.

Inilah panggilan untuk lebih mendalami kisah hidup pria tak bernama ini, untuk memahami lebih dalam tantangan yang dihadapinya, dan untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih adil dan peduli terhadap mereka yang terpinggirkan. Mari bersama-sama membangun masyarakat yang lebih baik, di mana setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki hak untuk hidup dengan martabat dan memiliki peluang untuk menjalani hidup yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun