RUPANYA sudah 1 tahun lebih pandemi Covid19 ‘menetap’ di Indonesia semenjak trimester pertama pada 2020. Segala usaha dan jerih payah yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat sudah dilakukan. Mulai dari pembatasan wilayah, tes yang terus digalakkan, program vaksinasi dan masih banyak lagi, tetapi rasanya belum menunjukkan perubahan ke arah positif.
Setiap hari, media memberitakan jumlah kasus Covid19 yang terus melonjak. Hal ini menyebabkan fasilitas kesehatan semakin penuh dan peralatan kesehatan terbatas. Banyak berita di media yang memberitakan penuhnya tempat karantina Wisma Atlet Jakarta, Sejumlah rumah sakit di Jawa Barat, Tengah maupun timur. Banyak nakes kewalahan atas melonjaknya kasus Covid19 secara tiba-tiba ini. Namun, sekarang bukan lagi saatnya kita saling menyalahkan 1 sama lain.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya adalah beredarnya berita hoax tentang pandemi ini. Banyak masyarakat yang termakan hoax karena kurangnya literasi terutama literasi digital. Definisi hoax menurut Silverman merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran.
Persis seperti yang terjadi sekarang. Dari awal pandemi ini muncul, sudah sangat banyak berita hoax yang beredar luas di masyarakat seperti pada grup Whatsapp, Facebook, hingga jejaring sosial Tiktok juga tidak luput dari konten berita hoax.
Pada masa awal pandemi, berita hoax yang beredar diantaranya adalah Virus Corona bersal dari kebocoran lab di Wuhan China, Suhu panas matahari dapat membunuh Virus Corona, minum alcohol dapat menyembuhkan infeksi corona dan masih banyak lagi. Berita-berita tersebut beredar luas di kalangan masyarakat seolah-olah tidak bisa terbendung. Bagaimana tidak, dalam sekejap saja berita tersebut bisa muncul di beberapa platform media sosial yang disebutkan diatas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun turut melabeli informasi menyesatkan yang beredar secara online sebagai ‘Infodemik’. Hal ini membuat kondisi lebih berbahaya dari sekedar pandemic Covid19 itu sendiri.
Baru-baru ini, beredar lagi hoax yang menyangkut pandemi Covid19 ini. Kabar hoax tersebut beredar dalam bentuk konten video yang menyatakan bahwa vaksin Covid19 yang dipakai dikalangan masyarakat sekarang ini mengandung mikrocip magnet. Kabar berita tersebut tidaklah benar dan masyarakat diminta agar tidak termakan hoax itu.
Dalam unggahan video tersebut menunjukkan adegan seseorang meletakkan koin uang 1000 Rupiah pada lengan bekas suntikan vaksinasi Covid19. Kemudian koin tersebut seolah menempel dan mengandung bahan mikrocip magnet. Padahal faktanya, Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro menjelaskan secera ilmiah bahwa lubang bekas suntikan itu sangat kecil diameternya, partikel magnetik tidak ada yang bisa melewati lubang itu. Jubir Vaksinasi COVID-19 Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmidzi mengatakan vaksin mengandung bahan aktif dan non aktif, dimana bahan aktif berisi antigen dan bahan non aktif berisi zat untuk menstabilkan, menjaga kualitas vaksin agar saat disuntikan masih baik. Dari penjelasan tersebut, bisa dipastikan bahwa logam uang yang menempel di kulit bekas suntikan vaksinasi dikarenakan cairan keringat yang keluar, karena bisa dilihat di video tersebut orang yang melakukan praktek tersebut kulitnya terlihat mengkilat karena keringat.
Berbicara soal hoax, tidak lepas kaitannya dengan hukum. Tentunya Indonesia sendiri sudah megatur tentang UU yang menyangkut penyebaran berita bohong/hoax. Merujuk UU ITE, dalam Pasal 45A ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.”
Dengan adanya UU ITE ini, seharusnya penyebaran berita hoax bisa ditekan atau bahkan menghilang. Tetapi faktanya, seolah UU ITE ini tidak dipedulikan oleh masyarakat. Banyak kasus penyebar hoax yang hanya dipanggil oleh pihak berwajib kemudian melakukan jumpa pers dan minta maaf, selanjutnya hitam diatas putih alias tanda tangan diatas materai atau bahkan hanya meminta maaf secara online di media sosial. Belum ada tindak lanjut lagi mengenai hal tersebut. Kebanyakan, penyebar hoax Covid19 ini mengaku ‘tidak tahu’ atas konten/berita yang disebarkan.
Terlihat, hal seperti ini rupanya tidak membuat masyarakat jera. Kejadian seperti ini terus terulang setiap waktunya. Pihak pemerintah, Kementerian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) dan POLRI saat ini juga berusaha untuk berperang melawan hoax, namun kenyataannya belum ada hasil yang cukup memuaskan. Hoax masih terus merajalela. Masyarakat luas harusnya mempunyai sikap kritis dalam menanggapi berita-berita yang beredar sehingga tidak ditelan mentah-mentah.
Disisi lain, biasanya yang mudah mempercayai berita seperti ini adalah kalangan orang tua dalam keluarga. Mereka mudah sekali percaya dan akhirnya turut menyebarkan berita tersebut tanpa menelusuri dan mengetahui kebenaran faktanya. Namun, mereka juga tidak bisa 100% disalahkan. Didalam keluarga, peran seorang anak terutama yang sudah berumur 20 tahunan keatas dan mempunyai latar belakang Pendidikan tinggi penting untuk mengedukasi para orangtua agar tidak mudah termakan hoax dalam situasi seperti sekarang ini. Gampang nggak gampang memang untuk mengedukasi orang tua. Jangan sampai, anak terkesan menggurui orang tua dan tidak sopan. Namun juga sebaliknya, jika orang tua memiliki anak yang masih kecil dan sudah memegang gadget, sepatutnya untuk diberi pembekalan tentang berita bohong.