Mohon tunggu...
Dwiki Setiyawan
Dwiki Setiyawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

#Blogger #Solo #Jakarta | Penyuka #Traveling #Sastra & #Politik Indonesia| Penggiat #MediaSosial; #EventOrganizer; #SEO; http://dwikisetiyawan.wordpress.com https://www.facebook.com/dwiki.setiyawan http://twitter.com/dwikis

Selanjutnya

Tutup

Money

Titip Rindu Buat Ibuku

29 Juli 2010   07:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:30 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Setiap lebaran, tak pernah lupa aku mengunjungi Dusun Criwikan. Sebuah pedusunan nun jauh di pelosok Klaten Jawa Tengah. Jaraknya kurang lebih 30 kilometer arah timur laut dari kota Klaten. Sebuah dusun yang dikelilingi hamparan persawahan. Nampak menyendiri dibanding dusun-dusun sekitarnya. Tak seberapa luas, dusun itu ibarat noktah kecil bila dilihat dari ketinggian pesawat udara yang melintas di atasnya. Di dusun itu aku habiskan sebagian masa kecilku.

Dahulu di akhir tahun 1970-an, listrik belum masuk dusun itu. Apabila pagi menjelang, suara kokok ayam jantan di dusun itu bersahut-sahutan. Diiringi beberapa saat kemudian kicauan bermacam burung jalak yang lucu, riang dan menari-nari dari dahan ke dahan pada pepohonan yang amat rimbun di dusun itu. Merambat siang, berganti burung tekukur melagukan tembang kehangatan, sembari beberapa ekor di antaranya nampak bagai sejoli di mabuk asmara dengan paruh berpatuk-patukan.

Siang datang, dusun itu ditingkahi lengkingan dan bunyi-bunyian beragam kumbang yang hinggap di batang pepohonan. Laksana orkes simponi nan merdu, merayu dan menyayat kalbu. Walau serangga itu kecil, saat ia mengerjap-erjapkan sayap mungilnya akan keluar suara nyaring. Terdengar dari kejauhan, nyanyian alam itu ikut menemani perempuan dusun itu yang sedang mempersiapkan jamuan makan di dapur. Pula mengiringi penduduk yang tengah bekerja menggarap kebun dan sawahnya.

Sesekali, pada pohon rindang di depan sebuah rumah penduduk dusun itu, terdengar gita burung Prenjak. Kicauan khas dan tiada duanya. Bagi sebagian penduduk, kicauan burung Prenjak itu pertanda akan ada tamu datang tidak diundang. Tamu yang membawa kabar duka cita maupun suka cita. Suatu kearifan lokal berdasar tanda-tanda alam, yang sebagian besar aku ikut mempercayainya.

Selepas hujan pada sore atau senja hari, dusun nan tenang itu mendadak hingar-bingar celoteh kawanan katak di persawahan. Pula di kubangan pekarangan maupun kebun-kebun se-antero pedusunan. Gemerisik bunyinya mirip pergelaran musik rock. Hewan dua alam itu tak ubahnya serdadu-serdadu yang baru saja memenangkan pertempuran. Berparade di habitatnya riang gembira, sembari mendendangkan mars kemenangan.

Sementara itu kala malam datang, dusun Criwikan kelihatan tenang bak bahtera terpaku mengapung di tengah lautan. Tetapi ia nampak menawan oleh kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang di persawahan sekelilingnya. Panorama indah yang kini hilang tergerus roda jaman.

Pagi, siang, sore atau senja, dan malam hari datang silih berganti. Namun ritme yang nyaris sama sebagaimana penggambaran di atas senantiasa berulang. Terkenang-kenang di langit pikiran. Kenangan yang sulit dilupkan tatkala aku mengecap masa kecil dahulu.

***

Di dusun itu pula, pada pekuburan dekat rumah nenekku, terbaring damai jasad ibundaku tercinta. Sebuah batu nisan keramik warna biru menandai letak makamnya. Beliau wafat tatkala aku masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD), dan aku tak pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri jasadnya untuk terakhir kali. Bila mengenang itu semua, tak terasa air mata melelah di pipiku.

Sedikit saja yang aku ingat. Suatu siang ayahku yang tengah mengais rezeki dibelantara Jakarta menerima sebuah telegram dari kampung. Lantas disusulkan seorang tetangga kepada ayah di tempat kerjanya. Tiba di rumah, tidak lama berselang, beberapa tetangga mendatangi rumahku di bilangan Pasar Rumput Jakarta Selatan, menyalami ayah dengan muka sedikit tertunduk dan mengucapkan sesuatu. Tergambar kesedihan di raut wajah-wajah mereka, tidak terkecuali ayahku. Beberapa dari mereka, perempuan setengah baya teman ibu, menepuk-nepuk pundak dan membelai kepalaku.

Aku masih kecil, tidak paham dengan semua yang terjadi. Tidak banyak menunggu waktu, setelah mendapat talangan hutang dari kenalan baik ayahku, kami berdua bergegas ke stasiun kereta api Gambir. Mengejar kereta  tujuan Solo, yang singgah beberapa waktu di stasiun Klaten. Ayahku hanya bilang akan mengunjungi dan menemui ibu. Sudah satu tahun lebih lamanya ia tinggalkan hiruk pikuk Jakarta. Ingatan melintas, yang aku tahu ibuku tengah titirah di dusun sembari berusaha mengobati penyakit kanker payudara yang dideritanya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun