Mohon maaf, posting bertajuk Diajak Mengintip Perempuan Mandi ini ditujukan untuk pembaca lelaki sahaja. Tulisan ini juga bukan dimaksudkan sebagai petunjuk teknis, terms of reference, panduan praktis dan semacamnya. Hanya sekedar share belaka. Namun bila dibaca pembaca perempuan, apa boleh buat.
Kisah mengintip orang mandi ini sudah berlalu dua dekade silam. Kejadiannya di kota Solo Jawa Tengah awal dekade 1990-an. Bila mengingat-ingat peristiwa di masa muda itu, kadang membatin sendiri, "ah betapa badungnya saya saat itu." Namun jelas saya tidak menyesali romantika dan kenakalan masa muda yang hanya dialami sekali seumur hidup itu. Justru dengannya saya merasa bersyukur punya jalan hidup bengkok-bengkok dan warna-warni. Kita mulai kisahnya....
Tatkala mengecap bangku kuliah, saya pernah indekos di Jalan Kebangkitan Nasional belakang Stadion Sriwedari Solo. Tarif Rp 25.000 per bulan. Mungkin saat ini sudah 10 kali lipat tarif sewanya. Lantaran berada di tengah kota, peruntukan indekosan ini bebas. Siapa saja baik laki-laki atau perempuan boleh indekos di situ. Yang penting bayar bulanan lancar. Tersedia 5 kamar: 2 kamar menghadap barat dan 3 kamar menghadap timur. Kamar mandi 2 buah di sisi selatan, dan di atas kamar mandi itu terletak tempat jemuran pakaian. Saya sendiri menempati 1 kamar paling utara yang menghadap arah barat. Di sebelah kamar saya, tinggal seorang lelaki paruh baya yang bekerja di Hotel Riyadi Palace.
Beberapa bulan setelah indekos di situ, secara berangsur-angsur 3 kamar menghadap timur ditempati 5 perempuan muda. Dan persis di depan kamar saya hanya ditempati satu orang, 2 kamar lainnya diisi masing-masing 2 orang. Kelima perempuan muda itu bekerja di sebuah diskotik yang terletak di kawasan Taman Balekambang Solo. Saya pun hanya akrab dengan perempuan di depan yang kamarnya berhadapan. Namanya Juli. Berasal dari Malang. Dengan yang lainnya, hanya just say hello saja. Kesemuanya lumayan cantik.
Kebiasaan para perempuan diskotik ini, saat saya berangkat kuliah, mereka tidur pulas. Begitu pulang dari kuliah, belum jua bangun mereka. Saat saya shalat magrib, mereka masih ogah-ogahan bangun sembari mengucek-ucek mata. Selepas saya shalat isak mereka berangkat kerja, dan pada waktu saya menunaikan shalat subuh mereka beriringan pulang dan segera masuk kamar. Korden jendela ditutup, lampu kamar dimatikan, dan seolah-olah tidak ada kehidupan di dalam kamar-kamar itu. Ritmenya nyaris berulang seperti itu.
Dalam soal urusan bersih-bersih badan, sepanjang yang saya tahu mereka hanya melakukan satu kali sehari. Waktu mandi pun sudah tertebak: setelah shalat magrib. Suatu senja, keponakan pemilik indekos, Andri namanya, dari tangga menuju tempat jemuran, dengan kode tangan tertentu mengajak saya naik ke lantai atas.
"Ada apa gerangan?" saya membatin. Ia dengan tersenyum bilang, "Mas, sebentar lagi kita lihat pertunjukan langsung gratis."Â "Maksudmu apa, Ndri?" tanya saya penasaran. "Saya mengajak mas ngintip mbak-mbak diskotik yang sebentar lagi mau mandi. Kalau saya sendiri kan tidak bisa, nanti gimana kalau tiba-tiba ada orang naik ke tempat jemuran. Makanya mas saya ajak untuk gantian berjaga-jaga di atas tangga, kalau ada yang mau naik segera kasih kode."Â "Ooo itu tho maksudmu mengajak saya. Lha nanti kalau ketahuan orang yang kita intip, bagaimana kita?" saya agak cemas dengan gagasan gila itu. "Tenang mas, keadaan kita di luar (maksudnya tempat jemuran) ini gelap, sementara dua kamar mandi yang ada terang benderang. Mustahil orang yang di dalam kamar mandi bisa melihat lewat genting kaca di atasnya," kata Andri meyakinkan. Tak selang lama saya juga yakin dengan teori itu.
Kemudian saya lihat sekeliling. Dua kamar mandi yang ada tepat di atas jemuran. Lantaran kamat mandi itu dibeton, hanya ada fentilasi kecil di samping. Dan untuk penerangan siang hari terdapat cerobong di atas kamar mandi yang masing-masing diberi dua genting kaca. Posisi aman dan sempurna....
Tidak berapa lama, seperti kebiasaan yang saya hapal, satu per satu perempuan penghuni indekos masuk kamar mandi. Saya kebagian jaga lebih dahulu, Andri yang beraksi. Saya lihat ia menahan senyum sembari jempol kanannya diacung-acungkan. Ah, itu tandanya ada sesuatu yang menarik perhatian si Andri. Kemudian saya dipersilakan melakukan aksi mengintip, Andri ganti berjaga tangga. Dua perempuan di dua kamar berbeda diintip dari genting kaca yang berada di atasnya. Wowwwwwww. Ckckckckckckckck.
Tak perlu saya gambarkan detail lekak-lekuk perempuan yang mandi tersebut. Betul-betul keindahan yang sayang dilewatkan. Yang terang, saat malakukan aksi nekat itu darah muda saya pun menggelegak. Kelima penghuni indekos itu, malam itu khatam saya lihat. Dan ada kalanya ada satu-dua perempuan temannya yang ikut main ke indekos itu, kami nikmati keindahannya. Yang terakhir ini sebagai sebuah bonus.
Aksi gila itu berlangsung beberapa bulan. Untung tidak pernah kepergok. Sampai kami bosan sendiri. Beberapa waktu kemudian, 4 orang penghuni pindah indekos, dan hanya tinggal Juli yang berhadapan dengan kamar saya yang masih bertahan. Lantaran cara Juli bergaul yang baik, akhirnya kebiasaan mengintip itu kami hentikan. Atas inisiaif sendiri.