Kalah dan Menang
Sutan Takdir Alisjahbana
Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang!
Sebab sudah kuputuskan, bahwa kemenangan sudah pasti untukku saja.
Kalah tinggal pada mereka yang lain:
Yang mengeluh bila terjatuh,
Yang menangis bila teriris,
Yang berputar-putar dalam belantara.
Di padang lantang yang kutempuh ini,
aku tak mungkin dikalahkan:
Sebab di sini jatuh sama artinya dengan bertambah kukuh berdiri.
Tiap-tiap yang dipukulkan berbalik lipat ganda kepada si pemukul.
Malahan algojo sekalipun yang akan menceraikan kepala badanku,
akan terpancung sendiri seumur hidupnya:
Melihat mataku tenang menutup dan bibirku berbunga senyum
4 Mei 1944
***
Defeat and Victory
No, there is neither defeat nor victory for me!
Because I have already decided that victory will always be with me.
Defeat remains for the others:
With those who moan when they fall,
With those who cry when they are torn,
With those who walk in circles in the jungle.
In the wide open space where I tread,
It is impossible for me to be defeat:
Because here to fall means to rise stronger than before.
Each blow return threefold to the attacker.
Even the executioner who severes my head from my body will
feel decapitated all his life:
Having witnessed my eyes close calmly, my lip blossom in smile.
May 4, 1944
***
Puisi di atas diciptakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada 4 Mei 1944. STA sastrawan garda depan Angkatan Pujangga Baru. Apabila kita melihat konteks terciptanya puisi tersebut, yakni kurang lebih satu tahun menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka nyata sebagai seniman ia telah melihat jauh ke depan melampaui jamannya. Seolah-olah STA lantang menyatakan bahwa kemenangan akan diraih bangsa Indonesia atas cengkeraman kuku-kuku kuat dan tajam para penjajah. Hanya soal waktu saja....
Dalam dunia seni, bukan hanya satu dua, seniman berkreasi atas apa yang disaksikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seniman juga memiliki intuisi (politik). Dan intuisi untuk melihat suatu perkembangan sosial yang akan terjadi di kelak kemudian hari, kadangkala lebih kuat dari para politisi. Begitulah adanya.
***
Puisi dalam bahasa Inggris di atas, dikutip dari buku ‘Ketika Kata Ketika Warna’ yang diterbitkan oleh Yayasan Ananda Jakarta tahun 1995 halaman 65.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H