Mohon tunggu...
Dwi KatrinNada
Dwi KatrinNada Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi memasak dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gugatan atas Pelanggaran pelaksanaan Pemilu

2 Mei 2024   13:20 Diperbarui: 2 Mei 2024   13:27 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sungguh tidak asing jika kita mendengar kata pemilihan umum (Pemilu) yang pada tanggal 14 Februari 2024 telah dilaksanakan di Indonesia. Beberapa kejanggalan terkait Pemilihan umum seringkali terdengar di telinga masyarakat, salah satu berita yang mengejutkan segala kalangan terkait dengan Pemilihan umum adalah Putusan Mahkamah Konstitusi yang merubah peraturan pada pemilihan umum 2024 kemarin. Putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut mengatur batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Dikeluarkannya putusan ini karena terdapat gugatan yang telah diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Almas Tsaqibirru. Putusan tersebut menjelaskan bahwa batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan daerah. Putusan ini menjadi kontroversial, karena ternyata ketua majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka yang tengah menjabat menjadi walikota Solo sekaligus merupakan adik ipar dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Selanjutnya, Tim Pemenangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menuding adanya praktik nepotisme dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024. Nepotisme itu dituding dilakukan oleh Presiden Joko Widodo demi memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Kejadian ini sangat tersorot saat sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di gedung Mahkamah konstirusi, Jakarta yang dilakukan oleh pemohon capres dan cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Sebagaimana yang dimohonkan oleh Tim pemenangan paslon nomor urut 03 Ganjar pranowo dan Mahfud MD dalam perkara nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang dilaksanakan pada Rabu (27/3/2024) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pukul

13.00 WIB. mereka juga melontarkan sepenggal pengantar yang berbunyi “Hari ini kami menggugat dan lebih dari sekadar kecurangan dalam setiap tahapan pemilihan presiden yang baru lalu, yang mengejutkan bagi kita semua dan benar-benar menghancurkan moral adalah penyalahgunaan kekuasaan.”

Upaya keadilan substansif yang dilakukan Prof Mahfud MD memberikan dorongan agar Majelis Hakin Konstitusi berani menembus ke relung keadilan substansif dan bukan hanya sekadar keadilan formal prosedural semata. Dalam pelanggaran pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) memperkenalkan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Indonesia.

Selain itu, Mahfud juga menyebut MK di berbagai negara telah banyak melakukan judicial positivism dengan membatalkan pemilu yang penuh kecurangan dan pelanggaran prosedur, seperti di Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, Thailand, dan beberapa negara.

“Akhirnya, kami tahu sungguh berat bagi MK dalam sengketa hasil pemilu ini. Pastilah ada yang datang untuk mendorong Yang Mulia agar permohonan ini ditolak. Dan pasti ada pula yang datang untuk mendorong agar permohonan ini dikabulkan. Yang datang tentu tidaklah harus orang ataupun institusi, melainkan bisikan hati Nurani yang datang bergantian di dada para hakim,” ujar Mahfud.

Abuse of Power yang dimaksudkan dalam kejadian ini ialah ketika Deputi Tim Hukum Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud yang diwakili oleh Todung M. Lubis dan Annisa Ismail menyampaikan dalil-dalil pokok permohonan dari Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 secara bergantian. Menurut Pemohon telah terjadi kekosongan hukum dalam UU Pemilu untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan akibat dari nepotisme yang melahirkan abuse of power yang terkoordinasi. Pelanggaran ini menjadi pelanggaran utama yang terjadi dalam Pilpres 2024. Tindak nepotisme dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam mendorong Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan calon Wakil Presiden Nomor Urut 2. Hal ini, sambung Annisa, melahirkan berbagai bentuk abuse of power di seluruh jenjang kekuasaan dan pemerintahan. Fakta ini tampak pada keberadaan UU Pemilu tidak memiliki mekanisme untuk menangani wujud pelanggaran TSM yang diatur, sehingga kekosongan hukum yang ada pada UU Pemilu terlihat jelas.

Berikutnya, Pemohon juga menilai instrumen penegak hukum pemilu yang saat ini tidak efektif yang tampak pada tidak adanya independensi dari Termohon dalam melakukan Pilpres 2024, DKPP melindungi Termohon dengan cara tidak mengindahkan putusannya sendiri, dan Bawaslu tidak efektif dalam menyelesaikan pelanggaran yang dilaporkan. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024. Mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1632 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 13 November 2023 dan Keputusan Komisi Pemiihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 14 November 2023.

Berdasarkan sidang Mahkamah konstitusi terkait gugatan yang diajukan oleh capres-cawapres nomor urut 01, Anies aswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 02, Ganjar Pranowo serta Mahfud MD  tentang Dalil-dalil permohonan yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP. Kemudian dalil lainnya terkait tuduhan adanya abuse of power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menggunakan APBN dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi pemilu. Termasuk dalil soal penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pusat, pemda, dan pemerintahan desa dalam bentuk dukungan dengan tujuan memenangkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Setelah sidang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diajukan dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024, pada Senin (22/04). MK menyatakan permohonan pemohon "tidak beralasan menurut hukum seluruhnya".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun