[caption id="attachment_105708" align="aligncenter" width="300" caption="pohon bahagia?"][/caption]
Dia mengetuk semua pintu
“aku wanita yang malang. Cinta selalu meninggalkan ku.”
“Apakah kau punya sekeping bahagia?”
Dan pemilik pintu yang diketuknya tak jarang memberinya sekeping sesuatu. Tak jarang pula dengan prasangka mereka membanting pintu. Jalan telah sampai di ujungnya. Banyak keping-keping digenggamnya tapi ia tetap tak bahagia.
Di paling ujung ada sebuah rumah sederhana. Dia mengetuk pintunya, harapan terakhirnya untuk bahagia. Seorang anak laki-laki membuka pintunya. Wanita itu tak menyangka ada laki-laki kecil yang tinggal di rumah sederhana itu.
Ia langsung berburuk sangka. “Mana ada laki-laki kecil yang tinggal di rumah sederhana punya sekeping bahagia?”
Tetapi tetap saja dia bertanya:
“Apakah kau punya sekeping bahagia?”
“Oh kau boleh petik sesukamu. Aku telah menanamnya di pot itu. Sebaiknya kau menanam sendiri juga, jadi kau bisa memetiknya setiap waktu.” Jawab laki-laki kecil itu sambil menunjuk sebuah pot sederhana di depan rumahnya.
“Dasar anak gila. Mana ada sekeping bahagia tumbuh dari tanaman dalam pot dekil.” Wanita itupun meninggalkan anak laki-laki kecil itu dan terus mencari sekeping bahagia.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H