Saat kaki mulai melangkah, meninggalkan rumah kesenangan dan harapan, saat itulah kita berkenalan dengan dunia abu-abu. Dunia renta yang tak tahu malu, yang tak pernah berhenti berspekulasi tanpa susah payah untuk menghayati.
Kita dipaksa berjalan di rel yang panjang dan berliku. Lengkap dengan pilar-pilar kenyataan di sisi kiri dan kanan. Perlahan, kita disuguhi banyak atraksi yang membingungkan. Tentang keserakahan, air mata, dan ketidakberdayaan. Kita dipaksa tertawa meski terluka, diajak menangis meski gembira.
Melihat perempuan cantik yang asyik bermesraan dengan kerbau, sementara anaknya menangis di pangkuan harimau. Melihat lelaki yang menyeringai, asyik menghajar pantat bocah dengan kemaluannya.
Kebingungan membungkam akal sehat, dan kita secara sadar membuat kesimpulan yang salah. Menyederhanakan kenyataan dalam secangkir kopi, dan ratusan batang tembakau. Di ujung sana, mereka bahkan mencari jalan kebenaran di botol-botol minuman beralkohol.
Malaikat penjaga bumi merintih putus asa, karena gagal mengajak orang bersujud. Penguasa bodoh memainkan peran binal, menyodorkan fakta dan tontonan yang sarat kebohongan. Lalu resikonya, jadi problem kolektif yang dibiarkan terbang tanpa solusi.
Langit lupa warna birunya. Bumi menggerutu dalam sumpah serapahnya. Dan kita, terus menebak-nebak apa yang akan terjadi. Apa kabarmu langit hitam. Apa kabarmu bumi merekah. Bukankah kau tak punya alasan untuk menjadikan ini kubangan harapan.
Surabaya, medium September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H