Mohon tunggu...
Dwi Istianto
Dwi Istianto Mohon Tunggu... -

Sejak 2010 sampai dengan saat ini saya bekerja sebagai personal konsultan di sebuah institusi pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Memuliakan Tenaga Kerja Konstruksi di Era Pasar Bebas

8 April 2014   20:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13969494931784459882

[caption id="attachment_330803" align="aligncenter" width="629" caption="Aktifitas pekerja konstruksi pada suatu proyek pembangunan turap di daerah jembatan tiga Jakarta | Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Memuliakan Tenaga Kerja Konstruksi di Era Pasar Bebas

Saat mendengar atau melihat kata ‘Konstruksi’ atau jasa konstruksi misalnya, umumnya pikiran kita langsung membayangkan model teknik bangunan yang rumit, jelimet, dan hanya bisa dimengerti separuh orang di planet bumi ini. Bidang keilmuan ini seolah jauh dari dunia keseharian kita. Barangkali itulah kesan akal sehat kita alias common sense publik perihal dunia konstruksi.

Padahal sebaliknya, dunia itu karib di kehidupan keseharian kita. Paling sederhana ketika kita membangun rumah, membangun kantor, atau fasilitas lainnya. Kita juga sering melihat Konstruksi melulu hitung-hitungan teknis, atau bisa jadi menyimpulkannya dengan apa yang ada di depan mata. Konstruksi itu, ya…bangunan, dan bangunan identik dengan tukang.Padahal dunia Konstruksi juga luas cakupannya, ada sistem, human resource atau Sumber Daya Manusia, rantai pasok konstruksi, logistik, distribusi, dan seluruh yang melingkupi dunia kerja konstruksi. Maka tak heran jika dunia itu terkesan jauh, meski dekat di keseharian kita.

Dunia konstruksi bukan semata perkara teknis. Lebih dari itu, bahkan melekat unsur-unsur filosofis di dalamnya. Dalam kebudayaan Yunani misalnya, masyarakat Athena sudah lebih lama mengenal istilah “techne”, atau mimesis. Konstruksi bahkan memiliki tempat di wilayah estetis sehingga pekerja Konstruksi dianggap sebagai seniman. Artinya kerja-kerja konstruksi dipandang sebagai bentuk kesenian, dan dunia seni dalam kebudayaan memiliki tempat tertinggi di masa itu, bahkan saat ini. Dalam bangunan ada desain, ada hitung-hitungan matematis, deret-ukur, dan sejenisnya. (baca: Plato)

Maka tak heran jika pekerjaan sebagai arsitektur di masa itu sangat berharga, sama posisinya sebagai filsuf sebagai penasihat raja kala itu. Tamsilan di atas hanya ingin menunjukan kalau perkara konstruksi tidak sekadar urusan kasar yang biasanya dilakukan kuli bangunan, bukan sekedara hitung-hitungan ekonomis-matematis, lebih dari itu juga terkait cita rasa estetis suatu kebudayaan bangsa.

Di Indonesia bahkan nyaris lebih miris, posisi tukang atau kuli bangunan seperti jauh dari unsur profesionalitas, apalagi menempati posisi sebagai perancang. Pandangan mulia itu, seolah terpisah dari dunia kerja yang sistematis dan melalui menajemen yang kredibel. Dari tampilannya bisa terlihat. Tanpa uniform atau seragam serta fasilitas yang membanggakan. Mereka hanya bekerja dengan alat seadanya, bahkan hanya berbekal kemampuan alamiah. Intinya skillnya terasah secara otodidak tanpa model pelatihan, apalagi memiliki kesadaran tentang pentinganya kompetensi, profesionalitas, apalagi kredibilitas yang menjadi kebanggan sebagai pekerjaan yang mulia di bidangnya, khususnya di bidang ketenagakerjaan jasa konstruksi. Fenomena tersebut tentu saja miris di tengah persaingan global yang mensyaratkan daya saing, kompetensi, kualitas serta manajemen Sumber Daya Manusia yang mumpuni.

Memuliakan Pekerja Jasa Konstruksi

Dalam beberapa hal, sebenarnya pemerintah sudah berupaya melakukan perubahan di bidang tenaga kerja konstruksi, dengan melahirkan lembaga atau wadah untuk pengembangan para pekerja di bidang jasa konstruksi, seperti dibentuknya tempat-tempat pelatihan, serta program lainnya yang mencoba menyokong kemampuan dan daya inovasi teknologi modern.

Tugas yang diemban tentu saja tak mudah, tapi juga bukan mustahil jika semua tugas dirancang dengan kepentingan jangka panjang dan memiliki orientasi yang jelas baik secara internal mapun eksternal.Sayangnya, lagi-lagi upaya tersebut kerap tersendat oleh minimnya alokasi anggaran dan masalah klasik lainnya seperti sosialisasi kebijakan dan belum terprogramnya secara simultan program pelatihan dan pengembangan yang digagas. Belum lagi kalau kita bicara soal kemelut kebijakan yang seringkali tersendat di ruang sidang.

Padahal, di tengah persaingan global di segala bidang, termasuk bidang Konstruksi. Salah satu elemen penting yang harus diperhatikan adalah kualitas dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Penguatan kemampuan atau skill ini paralel dengan sistem manajemen dan atau pengelolaan sebuah institusi dalam bidang tertentu, termasuk bidang jasa Konstruksi. Apalagi jasa Konstruksi sangat erat terkait dengan pembangunan fasilitas publik yang mensyaratkan hasil dengan jaminan kenyamanan dan keamanan.

Wujud dari public goods atau pelayanan public yang baik itu, tidak bisa tidak meniscayakan proses perencanaan dan pembangunan Konstruksi yang terukur dan terjaminnya keamanan dan kenyamanan public. Maka sudah semestinya, bidang ini mendapat perhatian, baik dari sisi pengembangan SDM, maupun alokasi anggaran yang mumpuni untuk mensejahterakan pekerja juga untuk pengembangan dari kemajuan teknologi yang secara simultan bisa terus diadaptasi dan dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman.

Memanusiakan atau memuliakan para pekerja Konstruksi pun akan terwujud jika negara punya andil untuk menyokong agenda yang sudah dicanangkan pemerintah melalui pembangunan infrastruktur yang termaktub melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang sudah dituangkan pihak eksekutif dalam setiap tahunnya. Dan salah satu yang menjadi unsur penentu arah pembangunanh adalah dunia Konstruksi yang langsung terkait dengan fasilitas pelayanan publik yang baik dan bisa dirasakan kesehariannya. Tidak itu saja, harmonisasi rantai pasok (Supply Chain System) yang melingkupi, logistik dan distribusi arus barang dan jasa, serta jaringan moda ekonomi, serta fasilitas publikjuga berdampak pada pertumbuhan dan pengembangan ekonomi, atau yang karib dengan istilah penambahan besaran Produk Domestik Bruto.

Selain itu, pembangunan infrastruktur juga erat terkait dengan tegaknya dignity atau harkat dan martabat suatu bangsa. China tak akan pernah dikenang sebagai kota dengan peradaban tinggi di bidang Konstruksi, jika di masa Dinasti Ming tembok China yang terkenal di dunia itu tidak dibangun dengan sempurna. Prancis punya menara Eiffel, Amerika punya patung Liberty dan India punya Taj Mahal, serta beberapa bangunan lainnya yang menandai suatu destinasi negara. Dan kebanggaan pun tersemat—setidaknya bagi warga negara Indonesia—dengan lahirnya Monumen Nasional (Monas) yang dibangun di masa demokrasi terpimpin. Serta tentu banyak lagi dampak lainnya. Singkatnya dunia Konstruksi tak sesmpit dan sesimpel yang kita pahami. Tidak melulu urusan teknis, tidak melulu hitung-hitungan ekonomis-matematis, tetapi lebih dari itu berimplikasi pada bidang-bidang lainnya yang menopang kehidupan di suatu bangsa.

Problem di Hadapan Kita

Pertanyaan mendasar untuk menjawab semua itu tentu saja berpulang pada semua elemen, tak hanya pada pemerintah. Melainkan seluruh steakholder yang ada. Tetapi salah satu problem yang dihadapi, seperti yang sering muncul di permukaan baik di media maupun di kanal-kanal diskusi adalah persoalan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia.

Secara umum saat ini jasa konstruksi di Indonesia masih lemah dalam beberapa hal, antara lain: manajemen yang tidak efisien, keterbatasan dana dan teknologi serta kualitas SDM yang belum memadai. Dan salah satu faktor utama adalah masalah SDM.

Musababnya bisa beragam, mulai dari rendahnya pendidikan, etika dan profesionalisme kerja, serta kultur atau budaya yang memengaruhi kesadaran kerja. Meski faktor eksternal juga cukup memengaruhi seperti sistem ketenagakerjaan yang belum profesional, ketetapan undang-undang yang longgar, serta jaminan sosial bagi SDM yang juga minim. Akibatnya, perusahaan jasa konstruksi Indonesia tidak dapat bersaing dengan perusahaan luar negeri. Padahal, industri konstruksi sendiri memakai jasa tenaga kerja terbanyak dan PDB terbesar dibanding industri yang lain. Akibatnya, perusahaan swasta maupun negara kerap mengambil jalan pintas dengan mengambil tenaga ahli dari luar karena minimnya kemampuan tenaga kerja lokal.

Kegagalan sebuah organisasi atau perusahaan, biasanya terkait dengan kegagalan mengelola mengelola SDM. Sebab bagaimana pun kinerja SDM akan menentukan profit dan kelangsungan hidup institusi atau bidang usaha tertentu. Kondisi inilah yang juga menghinggapi bidang Konstruksi. Bidang yang lebih karib dengan perkara teknis dan inovasi Konstruksi ini mau tak mau juga akan bersentuhan dengan pola kinerja yang cepat dan terukur. Itu dapat dilakukan sejauh syarat dari kualitas SDM terkelola dengan baik. Baik itu kompetensi skill, integritas, kapabilitas dan profesinalitas.

Apalagi, jika bertolak dari data statistik, harus diakui bahwa industri konstruksi memiliki kontribusi yang cukup besar bagi negara yaitu sebesar 4%–8% dari total PDB. Data aktual yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor konstruksi, bersama-sama dengan sektor utilitas dan jasa, merupakan penyumbang utama pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto).

Pentingnya Pemahaman atas Tenaga Kerja Konstruksi

Jika bertolak dari pemahaman di atas, jelas bahwa pemahaman terhadap sistem ketenagakerjaan Konstruksi menjadi penting. Sehingga setiap profesi yang dijalani itu memiliki nilai lebih mencakup; kualitas, kredibilitas, dan profesionalitas, serta kebanggaan atas profesinya dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi.

Tiga hal itu paling mendasar untuk dipahami, sehingga pola kerja di bidang kerja-kerja Konstruksi itu memiliki arah dan capaian maksimal. Kita misalnya sering menyaksikan bagaimana para pekerja di level terendah di bidang Konstruksi sebagai bagian dari pekerjaan yang seolah jauh dari unsur-unsur profesionalitas.

Para pekerja Konstruksi yang sering diberi label “tukang” seolah laiknya kuli kasar yang tak diposisikan sebagai pekerja-pekerja profesional. Saat bekerja mereka tidak memakai uniform atau perlengkapan seadanya; memakai celana pendek, kadang tanpa kaos, tanpa alat pengaman, seperti sepatu boot, serta perlengkapan lain. Mereka bekerja berdasarkan insting dan skill bawaan, tanpa dilatih di didisiplinkan dengan baik, sehingga pekerjaan di level terendah bidang Konstruksi ini seolah, jauh dari kerja-kerja professional seperti umumnya professional yang bekerja di kantor-kantor.

Padahal, seharusnya apapun bentuk pekerjaan dan bidangnya semua memiliki kontribusi yang sama, jika dikelola dengan baik. Di negera-negera maju, selain tentu saja jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan bagi pekerja Konstruksi atau yang dikenal dengan social security system relatifterjamin, kecuali jika ada gejolak krisis atau lompatan inflasi dan krisis keuangan yang melanda di negaranya, seperti krisis keuangan Eropa terutama Italia belakangan ini.

Namun, jika krisis mereda dan perlahan pemerintah setempat melakukan koreksi atas kebijakannya, sistem dan cara kerjanya pun perlahan diperbaiki. Tapi secara kultur suasana kerja di sana, terutama dunia Konstruksi sudah dilengkapi instrumen teknis dan kemampuan yang mumpuni, sehingga kesan atas profesi itu identik dengan dunia yang profesional.

Di negara-negara maju, para pekerja Konstruksi dari mulai pekerja rendahan di level itu, hingga paling atas, punya pola kerja dan atributyang jelas. Belum lagi didukung oleh kualitas kerja dengan kemampuan teknis dan teknologi di atas rata-rata yang di miliki setiap pekerjanya. Sehingga wajar jika target dan tujuan pekerjaan bisa tercapai secara maksimal dan efisien.

Hal di atas, tentu saja gambaran paling sederhana sebelum masuk ke persoalan lain seperti undang-undang ketenagakerjaan, model pelatihan, serta inovasi teknologi yang bisa kita bicarakan lebih lanjut.

Tapi setidaknya dari pemahaman paling sederhana itulah, pentingnya perbaikan sistem dan pelembagaan pusat-pusat pelatihan yang berjangka panjang harus untuk dilakukan sebagai program pendidikan dan pengembangan SDM jasa Konstruksi. Selain itu, fenomena tersebut juga menunjukan bahwa pemahaman—lebih dari itu kesadaran dan kebanggaan pada nilai dan profesi—perlu dilatih dan dikembangkan tidak dengan sesuatu atau instrument yang instan.

Jadi, persoalannya bukan semata teknis dan yuridis tapi sokongan moral force dalam hal ini nilai-nilai budaya, agama, dan ilmiah juga bertaut erat dengan pembentukan pola SDM dan pengembangan tenaga kerja di bidang Konstruksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun