Kekerasan pada perempuan maupun pada anak-anak bukan hal yang baru. Ada banyak kejadian yang sudah saya saksikan secara langsung.
Ada banyak orang-orang di sekitar saya yang begitu lantang menyuarakan anti kekerasan pada perempuan, anak-anak, dan semacamnya. Namun sayangnya, masih banyak yang belum benar-benar mengerti arti dari kekerasan itu. Ada yang beranggapan kekerasan hanyalah sebatas sentuhan fisik dalam arti memukul. Hanya saat menjadi korban pemukulan barulah melapor ke pihak berwajib, sehingga tak sedikit mengabaikan kekerasan yang lainnya seperti kekerasan secara verbal yakni membentak, memaki, mencomohi, serta kekerasan lainnya.
Dan salah satu kekerasan yang sangat sensitif ialah kekerasan seksual.
Ada begitu banyak orang-orang bersuara, protes, bahkan mengutuk kejadian itu. Tapi, apakah ada yang benar-benar peduli, peka, dan turut merasakan yang di derita para korban kekerasan seksual itu? Seorang perempuan yang di perkosa apakah tetap di pandang suci? Tidak di kucilkan? Tidak di fitnah, di salahkan dengan menilai sebelah pihak, entah pakaian yang di kenakan, atau karena pulang larut malam? Apakah ada yang mengerti mengapa mereka harus pulang larut malam? Bukan untuk sekedar hura-hura tapi mencari nafkah. Apakah ada yang mengeti, bahwa kejadian serupa juga menimpa beberapa perempuan meski itu siang hari, meski mereka memakai pakaian tertutup. Dan apakah mereka juga benar-benar membuka mata, bahwa anak-anakpun banyak yang menjadi korban. Dan dapatkah mereka mengatakan letak kesalahan anak-anak itu? Salah karena bermain di luar rumah? sementara ada anak-anak yang menjadi korban di dalam rumah sendiri, oleh keluarga mereka sendiri. Apakah orangtua salah karena membiarkan anak perempuannya keluar rumah? Sementara tetap saja ada anak laki-laki yang juga menjadi korban.
Kekerasan seperti ini bukan baru-baru ini saja terjadi, tapi sudah terjadi sejak lama, sudah banyak korban, hanya saja korban memilih lebih baik diam, menutup aib ketimbang melapor, lalu harus bercerita di hadapan para petugas dan di liput media, di siarkan tanpa henti, dan di saksikan oleh seluruh anggota keluarga, tetangga, dan kerabat yang berujung semakin malu. Tekanan mental para korban menjadi lebih berlipat ganda.
Masih banyak kekeliruan dalam penanganan kekerasan ini. Terkadang hanya fokus pada kejadiannya bukan pada korban. Kejadian yang di umbar-umbar sementara korban juga turut di ekspos tanpa pikir panjang perasaan korban. Begitu banyak yang lantang bersuara, turut prihatin dengan kejadian itu tapi tak banyak yang merangkul para korban, membantu untuk kembali bangkit, hilangkan rasa sakit, dan trauma.
Banyak yang mengutuk pelaku yang nyatanya tidak di hukum sesuai perbuatannya, hanya sesaat lalu bebas, berulah lagi sementara korban harus menanggung derita seumur hidup.
Pelaku tetap mendapat hak membela diri sementara korban diam tak berkutik lantaran pasrah dan putus asa. Tak lagi memiliki semangat hidup, kehilangan rasa percaya diri dan percaya pada orang lain.
Hanya segelintir orang yang benar-benar bertanya tentang perasaan korban, apakah tangisannya sudah melegakan hatinya. Apakah kehadiran orang terdekat sudah memberinya rasa aman, Apakah hukuman pelaku menghapus rasa sakit dan traumanya, dan hal-hal lainnya. Bahkan bertanya pun masih belum cukup. Nyatanya masih banyak yang belum benar-benar memahami. Bagaimana menghibur korban, mengobati, dan slalu mendampinginya. Bukankah banyak korban memilih mengakhiri hidupnya secara tragis. Dari situlah kita harus pahami, ini tidak semudah kehilangan harta benda,dan pelaku bukan mencuri sesuatu yang bisa dengan mudah ia kembalikan. Apa yang telah terenggut selamanya tlah hilang dan membekas seumur hidup.
Pelaku akan termaafkan, kembali melanjutkan hidup, bersosialisasi dengan masyarakat sementara korban terkucilkan. Bahkan tak sedikit pelaku tetap menghirup udara bebas dan bahagia, tak tersentuh sama sekali lantaran mulut korban tetap bungkam.
Sedikit solusi dari kejadian ini ialah kesadaran masyarakat. Jangan hanya menilai segala sesuatu dari satu sisi saja. Membela pelaku karena status sosialnya, tidak percaya dengan perbuatannya karena kesehariannya yang  terlihat selalu postif, sementara menyalahkan para korban karena berbagai hal negatif. Jika tak bisa berbuat apa-apa, membela ataupun menolog setidaknya jangan menjadi hakim atas hidup orang lain.