Mohon tunggu...
Dwi Rachmawati
Dwi Rachmawati Mohon Tunggu... -

Paidolah dirimu sebelum maido orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Jalanan

17 November 2012   05:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:12 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini seperti biasa, aku terbangun dengan segudang sesal kepada malam. Kenapa ia turun terlalu cepat. Sedangkan mataku masih enggan melihat matahari. Pun telingaku teramat sangat malas merekam suara jangkrik yang seakan cerewet menghujat waktu. Dengan malas aku beranjak menyingkap kain sarung yang merangkap sebagai selimut yang melindungi badanku dari udara dingin. Di luar, aku melihat ketiga adikku sudah siap dengan karung goni di masing-masing pundak mereka. Rupanya mereka akan segera berangkat mengais sampah lagi hari ini. Ah, aku benci hari ini seperti akumembenci sampah. Meskipun dari sampah itulah sebenarnya keluarga kami hidup.

“kak, belangkat dulu!” Adikku bungsu yang berusia 5 tahun menyambar tanganku dan menyalaminya. Kulihat pipinya lebam. Pasti ia kemarin ditampar penjaga tempat pembuangan sampah lagi. Ah hidup. Kenapa ia tak pernah berpihak kepada orang kecil seperti kami.

“kenapa pipimu Dul?” Tanyaku kemudian.

“gak apa-apa kok kak! Emangnya kenapa? Emangnya hali ini aku tambah ganteng ya? Emangnya kakak kangen ya sama Adul?” Cerocos bocah itu dengan wajah seperti tak berdosa, tidak, memang ia tak berdosa. Akulah yang berdosa. Mengapa aku membiarkan anak seusia dia yang seharusnya main mobil-mobilan malah bermain sampah.

“kak, sudah! Jangan dihiraukan. Si Dul inikemarin kecebur got gara-gara mau ngambil kaleng bekas yang masih bagus. Sudah, ayo cepat kita berangkat!” Ujar Samin, adikku yang berusia 6 tahun. Aku tahu mereka berusaha menyembunyikan perkara lebam di pipi Dul. Ah, betapa anak seusia mereka benar-benar tak pantas berdusta.

“ya sudah! Cepat berangkat sana. Hati-hati. Kalau ada apa-apa jangan lupa kasih tau kakak!” Mereka satu persatu mereka menyalamiku.

“oke boss!” Sahut Dil, kembarannya si Dul.

Mereka berlarian ke luar istana kami. Di perumahan kardus. Ya, kusebut rumah ini sebagai istana, karena arsiteknya memang megah. Di Indonesia, paling hanya 10% saja masyarakat yang mampu membangunnya. Bahkan Presiden pun rumahnya tak sebagus ini. Bahan rumahku terbuat dari ornamen yang sangat istimewa, kardus. Dindingnya pun dari kardus. Atapnya dari kardus. Lantainya dari pualam alam, yakni tanah. Benar-benar persis dengan rumah boneka. Istana mungil yang kapasitasnya cukup untuk dua orang ini dihuni dengan lima orang, aku, Dul, Dil, Samin, dan ibundaku. Hebat bukan?

“lho, lho! Baru bangun kamu Rim? Adik-adikmu sudah berangkat dari tadi itu!”Ujar wanita renta yang kusebut ibunda itu. Jangan tertawa. Memangnya hanya orang-orang kaya di sinetron saja yang pantas memanggil orang yang telahmelahirkan mereka dengan sebutan ibunda? Jangan salah. Gini-gini aku juga artis. Ya, artis dalam skenario kehidupanku sendiri dengan sutradara maha Adil dan Bijaksana, yakni Dia.

“ya Bun. Habis capek sih! Semalam aku ngamen sampai jam 1. Mana digrebek SATPOL PP lagi. Trus uang hasil ngamenku diambil lagi! Sebel! “ucapku dengan nada jengkel.

“Sudahlah Rim. Semua itu pasti ada hikmahnya. Hidup ini jangan terlalu banyak mengeluh. Hadapilah dengan kerja keras dan optimis.” Ujar ibundaku tegas tapi kalem sambil membersihkan lantai dan seisi rumah karena semalam kebanjiran.

“Bun, memangnya optimis itu apa?” Tanyaku. Kuakui 5 tahun yang lalu ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang baik dan berpendidikan. Ayahku juga orang besar. Abdi negara yang baik pula. Tapi entah kenapa ayah mengusir aku, Samin, dan ibu, padahal waktu itu ibu sedang mengandung Dul dan Dil. Tapi yang jelas, setelah itu aku tahu, ada wanita lain yang selalu melayani ayah.

“oalah. Gini lho Rim. Optimis itu berarti sungguh-sungguh dan yakin bahwa apa yang kita lakukan akan membuahkan hasil sesuai dengan apa yang kita harapkan.” Jelasnya kemudian.

“sudahlah Bun! Aku gak ngerti!” Aku langsung beranjak ke sungai untuk cuci muka dan gosok gigi. Awalnya aku benci tanah ini. Semuanya serba kotor. Bahkan aliran sungai inipun adalah pembuangan kotoran kamar mandi orang-orang kaya. Tapi lama-kelamaan aku terbiasa, maksudnya belajar dari kebiasaan dan kesabaran ibu. Setelah dari sungai aku menyambar gitar tuaku.

“Bun, berangkat dulu ya…..doain moga hari ini dapat rejeki banyak. Biar bisa kayamenyaingi ayah!” Pamitku. Sedangkan ibu mulai berkaca-kaca. Goblok! Aku memaki diriku sendiri. Mengapa pula kusebut-sebut nama ayah.

“ya, hati-hati Rim.” Balas ibunda setelah aku mencium kedua telapak tangannya yang mulaikeriput. Sementara itu, ia berpaling, aku tahu ia menangis. Ah, hidup memang tak pernah berpihak kepada kami..

Aku berjalan menelusuri jalanan kota Jakartayang basah. Sementara itu di terminal sudah banyak kawan ngamenku yang mulai bernyanyi di berbagai bus kota. Akupun berebut. Tapi seorang preman tiba-tiba menjegal kedua lenganku.

“heh! Bocah ingusan!” Bentaknya sadis.

“ada apa, Kang?” Tanyaku ketakutan.

“mulai hari ini kamu gak boleh ngamen di sini lagi. Kamu ini memang brengsek! Sejak ngamen di sini uang setoranmu emang paling sedikit. Bahkan kemarin kamu gak ngasih setoran! Pergi kamu!” Dia semakin beringas menggenggam tanganku dan menyentaknya.

“tapi kalau tidak di sini, dimana lagi aku akan ngamen kang?”

“terserah! Di kali kek, di kolong jembatan kek! Yang jelas, jangan di sini!” Sambil berkata begitu ia menendang pantatku. Sakit.

Tiba-tiba teman karibku, Benggol, cengengesan, berlari tergopoh-gopoh mendekat untuk membantuku berdiri sementara preman itu telah pergi meninggalkan kami.

“sakit ya Rim? Gimana? Wah-wah, kayaknya ini pelecehan seksual deh? Masak pantatmu di elus-elus gitu?” Ujarnya menggoda.

“gundulmu!” Jawabku kesal sambil mengibas-ngibaskan tangan ke pantatku yang kotor dan sakit.

“ya sudah, ayo aku temani kamu pergi.”

“kemana?”

“kemana aja deh. Pokoknya kita bisa ngamen dan bisa makan. “

Benggol memang sahabat karibku. Aku bahagia memiliki dia, saat aku memang tak bisa bertahan tanpa seorang temanpun. Dia mengajariku banyak hal agar bisa bertahan di kota yang keras ini. Dialah yang mengajariku main gitar, bahkan gitar lusuh ini juga pemberian dia. Waktu itu ia mendapat gitar bekas dari preman-preman terminal, jadi gitar lamanya dia ikhlaskan kepadaku.

Kami menelusuri jalan raya yang penuh sesak dengan kendaraan berat. Langkahku gontai, perutku lapar. Sudah dua hari ini aku tidak makan nasi. Semua karena penghasilanku beberapa hari yang lalu habis diambil sama preman tadi. Bahkan penghasilan yang rencananya akan kuserahkan kepada bunda, habis diambil satpol PP ketika ada penggrebekan anak jalanan. Memang hidup tak pernah berpihak kepada orang sepertiku.

“Rim, gimana kabar ibumu? Sudah sembuh belum? Kemarin waktu aku lewat rumahmu. Ibumu batuk-batuk melulu. Terus aku mampir nanyain kamu.Katanya kamu lagi ngamen. Eh, ibumu pakai lipstik ya? Waktu aku mampir itu, mulut ibumu merah. Atau jangan-jangan ibumu malah mengunyah sirih?Hiii…. Kayak nenek-nenek saja!” Benggol mulai menyerocos tanpa koma dan tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab. Tapi satu hal yang membuatku merasa masygul. Ibunda batuk? Jangan-jangan merah di mulutnya itu darah? Sebab aku tak pernah menemukan sebutir lisptikpun di rumah, apalagi sirih. Dalam hati aku makin bertanya-tanya.jangan-jangan ibundaku sakit seperti sakitnya artis di film-film itu. Batuk, keluar darah, kemudian mati! Ah aku tidak sanggup membayangkannya.

“ngawur kamu, Gol! Paling ibuku lagi makan bakso. Kan bakso ada saosnya. Lha saosnya kan merah.” Elakku, meski kutahu, Bunda tidak akan punya uang untuk beli bakso. “ Eh sudah, ayo kita ngamen di depan warung itu!” Ajakku bersemangat. Sesampainya di depan warung, kami langsung membawakan sebuah lagu. Lagu ondel-ondel yang pernah aku dan Benggol buat berdua. Bukannya dapat uang, malah kami kena umpat pemilik warung yang kebetulan wanita gendut. Logatnya sering aku dengar dari sinetron kalau sedang numpang nonton di terminal, persis seperti logatnya orang-orang yang berasal dari pulau Sakera.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dan mengamen di lampu merah. Ah, jahannam! Lagi-lagi ada polisi! Kamipun langsung terbirit-birit seketika. Aku heran. Kenapa polisi sepertinya mengganggap orang-orang seperti kami sebagai sampah. Mereka selalu mengusir kami dimanapun kami berada. Sepertinya kami ini tidak layak menjadi manusia. Padahal kami lahir di tanah ini, tanah yang dengan terpaksa harus kami banggakan. Ingin rasanya aku berlari ke rumah pak Presiden, ingin aku juga diakui sebagai anaknya. Tapi rasa inginku terlalu lemah dibandingkan dengan rasa lapar yang melilit perutku.

Matahari sudah berada di puncak kota. Aku dan Benggol terduduk lesu di samping trotoar. Kami benar-benar sudah tak berdaya lagi. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah benda yang tergeletak di jalan beraspal. Kudekati barang itu setelah kendaraan agak sepi.

Ternyata!

“Gol! Hari ini kita bisa makan! Makan! Makan!” Teriakku histeris saat kuketahui bahwa barang kecil yang berwarna hitam itu adalah sebuah dompet. Si Benggol pun terperanjat senang. Kami menari-nari di tepi jalan seperti dua pasang badut gila yang ketiban rejeki. Tapi Benggol tiba-tiba menyeletuk,”ini dosa tidak Rim?”

Deg!

Hatiku tergoncang. Dosa! Ah mengapa dosa harus ada ketika aku benar-benar ingin surga dengan cara mengenyangkan perutku dan perut sahabatku ini. Akupun bimbang. Selintas terngiang kembali di telingaku suara ibunda berkata, “Rim, kita ini memang orang miskin, papa, hidup dengan makan keringat sendiri. Sebenarnya bunda juga tidak pernah berharap seperti ini. Bunda ingin kau dan adik-adikmu bisa sekolah. Tapi nasib berkata lain. Tapi inilah yang harus kita jalani. Kita harus menjalaninya dengan jujur dan ikhlas. Dan yang paling penting jangan sampai perut kita terisi dengan sebutirpun barang haram. Karena pertanggungjawaban kita kelak di akhirat akan jauh melebihi penderitaan kita sekarang.”

Benggol terdiam dan aku pun hanya bisa tertegun menimang benda yang lumayan berat di tanganku itu. Dalam hati aku bertanya, kenapa saat ayah menjadi orang tuaku, ia boleh makan uang haram? Bukankah setiap kali bertengkar dengan ayah, ibunda selalu menuduhnya sebagai koruptor? Meski aku tak tahu arti koruptor, tapi ibunda selalu bilang kalau ayah harus taubat dan tidak lagi meraup uang haram.

Persetan dengan ayahku! Pikirku kemudian. Toh ia tak lagimemperdulikan aku. Dia enak-enakan tinggal di rumah mewah, sedangkan aku, ibu dan ketiga adikku harus meringkuk di rumah kardus. Tapi bagaimanapun juga, jika aku mengambil dompet ini, perkaranya adalah dosa dan aku tidak ingin berdosa. Aku dan Benggol sepakat untuk membuka isi dompet itu, barangkali kami bisa menemukan alamat pemilik dompet. Kami serentak kaget. Betapa tidak, dompet itu berisi uang ratusan ribuyang sangat banyak sekali dan beberapa kartu kredit. Di bagian lain kami menemukan sebuah foto, laki-laki dan perempuan sedang berduaan. Selintas aku sepertinya pernah melihat orang itu tapi aku lupa dimana. Selain itu, kami juga menemukan alamat dan identitas pemilik dompet. Tempatnya berada di sebuah kompleks perumahan yang aku juga lupa posisinya, tapi aku merasa bahwa aku pernah tau.

Hari sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Kami pun memutuskan untuk pulang terlebih dulu dan baru mengembalikan dompet itu ke pemiliknya besok pagi dengan harapan semoga kami juga kecipratan rejeki. Mungkin pamrih, namun manusiawi kan? Karena kami juga manusia.

Aku dan Benggol pulang dengan lemas karena memang belum makan. Aku berdoa semoga di rumah, ibunda mempunyai rejeki sehingga bisa memasakkan sesuatu untuk mengganjal perutku, barangkali Benggol juga bisa ikut makan. Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bicara. Lebih senang menekuri keberuntungan yang bukan milik kami. Hanya bisa berandai-andai. Seandainya uang itu milikku, milik kami.

Jarak satu kilometer dari kompleks perumahan kumuh, aku melihat banyak orang berlarian kesana kemari. Orang-orang yang memikul kamera juga banyak, sepertinya mereka mau merekam kejadian penting, bathinku. Aku dan Benggol semangat berlari. Mungkin pemerintah akan membuatkan rumah baru untuk kami, sebagai pengganti istana kardusitu.

Namun alangkah terkejutnya aku saat sampai di kompleks. Trailer dan alat pembongkar, beraksi merusak semua yang ada di sana tanpa memperdulikan isak tangis penduduknya. Aku kenal mereka semua, mereka adalah bagian dari cerita panjangku selama ini. Saat ayah mengusir aku dan ibunda, merekalah yang menerima kami dengan tangan terbuka. Meski mereka kumuh tapi hati mereka bersih.

Barang-barang mereka hancur tertimpa alat raksasa itu sampai tidak ada yang tersisa satu pun yang utuh. Aku segera sadar bahwa itu adalah penggusuran! Benggol segera berlari mencari mak dan adiknya. Dan seperti dikejar setan, aku pun berlari mencari, ya, mencari istana mungilku. Airmataku mengalir tak terkendali membasahi baju kumal yang melekat di tubuhku.

Aku mendapati istana mungilku telah rata dengan tanah. Kompor, panci, kasur lepek, semuanya telah penyok di atas lumpur, bekas hujan semalam. Ah, aku benci hari ini. Dengan tertatih aku mencari sosok rapuh yang kucintai, bunda. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat ketiga adikku menangis meraung-raung. Di tengah-tengah mereka sesosok tubuh yang tergolek tak bergerak. Bunda. Aku pun histeris menyongsong tubuh itu, benar, ternyata mulut bunda berlumuran darah. Aku heran, mengapa orang sebaik ia harus meninggalkan kami, aku dan ketiga adikku, secepat ini. Kenapa bukan ayahku sajayang mati! Kurangkul ketiga adikku, mencoba memberi mereka sedikit ketabahan meskipun aku sendiri sudah tak punya ketabahan barang setetes. Para tetangga mulai mengerubungi kami dan salah satunya adalah mbok Jumi’. Dia bercerita bahwa selama ini ibunda ternyata mengidap TBC akut, aku tak mengerti apa itu, tapi yang jelas, penyakit itulah yang menjemput nyawa ibunda saat itu.

Dari jauh aku melihat sosok laki-laki berjas hitam perlente dengan penampilan layaknya orang besar. Lakunya pun memerintah untuk membongkar lebih rata lagi pemukiman kumuh tempat aku tinggal. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku. Hatiku terkesiap seketika. Aku pernah mengenalnya. Kini hatiku bukan hanya terkesiap, tapi juga berteriak. Wajahnya sama persis dengan foto yang ada di dompet dalam genggamanku. Dengan langkah pasti aku mendekati sosok itu.

Ia memandangiku dengan tertegun, sepertinya ia juga mengenaliku. Karena aku satu-satunya anak umur 11 tahun yang mempunyai tanda tahi lalat tepat di pucuk hidung. Atau barangkali karena aku satu-satunya anak umur 11 tahun yang memiliki wajah tampan dan kulit putih, persis seperti dia.

“Ayah, aku menemukan dompet ini di tepi jalan. Kurasa ini milik Ayah. Ayah, ibunda telah pergi menjadi penebus dosamu. Terimakasih karena kautelah mengunjungi tempat ini.” Kataku sambil menyerahkan dompet yang tadi kutemukan. Setelah itu, aku pun berlari ke arah surga, ibundaku. Kubiarkan laki-laki sombong itu tetap tertegun di singgasana keangkuhannya. Tuhan, ia telah mengusirku dari rumah kami yang dulu dan sekarang ia mengusir kami dari rumah mungil yang kami tinggali dengan tangisan cinta. Akankah Engkau kelak masih memberinya surga? Tuhan, jawab aku. Agar aku tak lagi benci hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun