Mohon tunggu...
Dwi Fitria Ningsih
Dwi Fitria Ningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Persepsi terhadap Pemboikotan Produk Pro Genosida

19 November 2023   06:18 Diperbarui: 19 November 2023   06:18 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Komunikasi Interpersonal adalah suatu proses komunikasi atau pertukaran informasi, ide, pendapat, dan juga perasaan yang terjadi antara dua orang atau lebih yang biasanya bersifat informal. Komunikasi interpersonal bisa juga disebut sebagai komunikasi antarpribadi. Komunikasi interpersonal bisa terjadi dimana saja seperti ketika bermain media sosial, belajar di kelas, dan bekerja. Menurut Dean Barnlund, komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi yang melibatkan orang lain. Komunikasi interpersonal terjadi ketika melakukan interaksi yang berfokus pada isyarat verbal dan nonverbal serta saling berbalas. Jika tidak ada proses pertukaran verbal dan nonverbal maka tidak disebut proses komunikasi antarpribadi. 

Proses pertukaran informasi dalam komunikasi interpersonal mengarah pada sebuah komunikasi yang ada di dalam diri seseorang dengan adanya proses memikirkan, mengevaluasi, merasakan, serta menafsirkan sebuah peristiwa yang sedang terjadi melalui pemikiran seseorang. Misalnya dalam membahas suatu informasi dan kejadian yang tersebar di media maka diperlukan persepsi untuk mengetahui seberapa penting informasi tersebut dan juga mengetahui bagaimana penafsiran lawan bicara terhadap peristiwa yang terjadi. Maka dari itu persepsi sangat berpengaruh pada kegiatan komunikasi interpersonal, karena jika persepsi seseorang tidak akurat, maka kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Hal ini dikarenakan komunikasi interpersonal menjadi bentuk komunikasi yang paling murni dan mendasar. Selain itu dalam melakukan komunikasi interpersonal juga dapat meningkatkan persepsi yang baik dengan sikap terbuka, saling mendengarkan, dan mengajukan pertanyaan yang relevan dengan menghindari penilaian prasangka dan juga bersedia untuk mengubah pandangan kita terhadap suatu hal.

Menurut Schiffman dan Kanuk (2014), persepsi adalah suatu proses seseorang dalam menyeleksi, mengatur, menginterpretasikan informasi dan pengalaman, lalu menerjemahkannya untuk menghasilkan gambaran yang berarti. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda, karena sifat dari persepsi itu subjektif dan individual yang mana sesuai dengan nilai, kebutuhan dan harapan tiap individu (Schiffman & Kanuk, 2004). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, seperti faktor struktural yang meliputi kontras, warna, ukuran, dan posisi. Lalu ada faktor inderawi yang meliputi rasa, warna, dan bau (Setiadi, 2003). Terakhir, ada faktor internalnya seperti motif yaitu keinginan individu yang dapat berubah-ubah, serta ekspektasi yaitu harapan individu yang dipengaruhi pengalaman dan frekuensi stimulus dalam memenuhi ekspektasinya (Schiffman & Kanuk, 2004).

Damayanti (2000) dalam Prasilika, Tiara H. (2007:12-13) menggambarkan proses pembentukan persepsi menjadi enam tahapan. Tahapan pertama adalah penerimaan rangsangan melalui berbagai panca indera yang dimiliki manusia. Tahapan yang kedua, diberikan respon sesuai dengan penilaian dan pemberian arti terhadap rangsangan lain. Setelah rangsangan diterima, rangsangan kemudian di seleksi. Setelah di seleksi, rangsangan diorganisasikan berdasarkan bentuk sesuai dengan rangsangan yang telah diterima. Tahapan terakhir adalah individu menafsirkan data yang diterima dengan berbagai cara.

Persepsi juga mempengaruhi seseorang dalam proses pembelian atau keputusan untuk membeli produk. Menurut Willer (2006), proses pembelian ini dipengaruhi oleh isu-isu seperti isu sosial, politik, ekonomi hingga budaya lingkungan dari konsumennya. Konsumen akan menolak membeli produk yang memiliki tujuan pada sosio-politik, karena konsumen lebih bersedia mengkonsumsi produk-produk yang memang bertanggung jawab, membela hak-hak sipil, kelompok minoritas, serta orang miskin. Oleh karena itu, konsumen akan menghindari untuk membeli produk dari perusahaan yang memang terlibat dalam tindakan yang tidak benar. Hal ini dapat dinyatakan pada aksi boikot produk-produk yang mendukung tindakan genosida seperti yang terjadi di Palestina. 

Belakangan ini, akibat meledaknya perang antara israel dan hamas menarik perhatian publik. Hal ini membawa banyak dukungan terhadap palestina dan tidak menutup kemungkinan bahwa ada dukungan terhadap pihak israel. Dua merek brand kosmetik indonesia yaitu Rose all day cosmetics dan ESQA Cosmetics menjadi sorotan publik akibat dugaan mendukung israel karena menyukai postingan aktris asal israel yaitu gal gadot yang menampilkan foto bendera israel dengan tulisan ”i stand with israel”, hal ini dilakukan oleh Co-founder ESQA yaitu Cindy Angelina dan Co-founder Rose All Day yaitu Tiffany Danielle.

Hal yang dilakukan oleh Cindy Angelina dan Tiffany Danielle menimbulkan banyak kontra dan berakibat brand makeup tersebut diboikot oleh masyarakat indonesia. Hal ini berhubungan dengan persepsi masyarakat indonesia yang mayoritas memiliki rasa solidaritas yang tinggi dengan palestina dan menganggap hal hal yang dilakukan oleh israel merupakan hal yang menentang hak asasi manusia. Banyak masyarakat indonesia yang memboikot produk serta brand yang mendukung israel, dan negara indonesia sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik dengan israel dan mendukung penuh terhadap hak hak masyarakat palestina. namun, pihak yang bersangkutan sudah memberikan permintaan maaf serta memberikan pernyataan bahwa mereka tidak pernah mendukung adanya peperangan di gaza dan berharap situasi yang terjadi bisa cepat selesai karena banyaknya nyawa yang tidak bersalah menghilang.

Dalam menerima persepsi, seseorang memulainya dengan rangsangan panca inderanya seperti melihat atau mendengar tentang kejadian Palestina. Mereka mengetahui kejadian tersebut melalui berita-berita yang disiarkan media, seperti televisi dan handphone. Media menjadi jembatan informasi kepada masyarakat atas apa yang sedang terjadi pada Palestina. Ini berkaitan dengan teori agenda setting yang mana media massa sebagai penentu apa yang penting, sehingga masyarakat pun juga menganggap penting. Menurut Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, teori agenda setting adalah teori yang menyatakan bahwa media membentuk gambaran atau isu penting dalam pikiran, karena media harus selektif dalam melaporkan berita. Asumsi teori ini yaitu media memberi penekanan pada suatu peristiwa, maka akan mempengaruhi masyarakat untuk menganggap peristiwa itu penting. Dalam hal ini, berita tentang apa yang dilakukan Israel kepada Palestina adalah suatu tindakan yang buruk dan menjadi isu penting untuk diketahui publik.

Media menyampaikan bahwa Israel melakukan tindakan tidak manusiawi kepada Palestina dan public mengetahuinya. Maka dari itu, dapat mempengaruhi persepsi terhadap Israel. Dari persepsi tersebut lah yang memuat masyarakat tergerak untuk melakukan aksi, yaitu aksi dukungan terhadap Palestina dengan memboikot produk-produk Israel. Hal ini membuat kita menyadari bahwa media sangat penting untuk membentuk persepsi dan perilaku apa yang akan dilakukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun