Mohon tunggu...
Dwi Rahayu
Dwi Rahayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Ibu Perlu Sekolah?

28 Januari 2018   11:42 Diperbarui: 28 Januari 2018   12:04 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampaknya mudah menjadi seorang ibu. Tinggal merawat dan memberi makan, mengikuti setiap tahap perkembangannya, mengantarkan sekolah jika sudah saatnya sekolah, mencarikan jodoh jika sudah siap menikah atau bahkan membiarkan anaknya mencari sendiri pasangan hidupnya asal suka sama suka. Mudah dari tampilan 'covernya' namun sulit pada kenyataannya. Faktanya banyak para ibu yang tidak siap ketika anugerah berupa 'anak' ini datang tanpa terduga. Sebagian ada yang menerima dengan pasrah, sebagian ada yang menyambut dengan suka cita, sebagian lagi justru ada yang membuangnya dengan keji. Ketidak siapan menjadi seorang ibu membawa dampak baby blues bagi sebagian orang, dan membawa dampak psikologis tersendiri bagi sebagian yang lain.

Menjadi Ibu Butuh Ilmu

Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Bagaiman mungkin jika sekolah pertama yang akan mengajarkan segala hal justru tidak memiliki ilmu sama sekali? Masih teringat di benak kita, ketika orang tua zaman dulu selalu mengatakan : " Anak perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh nanti ujung-ujungnya juga cuma di dapur, sumur dan kasur." Ungkapan itu ada benarnya, tidak seratus persen benar memang, karena untuk menguasai ketiga urusan 'domestik' tersebut juga perlu sekolah.

Dibutuhkan ilmu yang mumpuni untuk mencetak generasi yang cerdas, berakhlak dan beraqidah kuat. Karena ibu adalah sosok pertama yang akan mengisi otak anak dengan apapun. Jika di ibaratkan anak sebagai kertas kososng, maka tulisan pertama yang akan mengisi kertas tersebut adalah Ibu. Bukan yang yang lain. Lihatlah sosok Imam Syafi'I, yang sudah hafal Al Qur'an sejak masih anak-anak, sudah menjadi mufti ketika usianya masih 12 tahun. Lihatlah pula sosok Muhammad Al Fatih sang penakluk Konstantinopel. Dibalik kecerdasan dan kesuksesan mereka dalam bidangnya adalah karena peran Ibu. Bahkan di dalam Islam, Ibu sangat dimuliakan. Seorang anak wajib untuk menghormati Ibu terlebiih dahulu sebelum Ayah.

Sudah menjadi hal yang lumrah, ketika ingin mendidik anak dibutuhkan modal kecerdasan dan ilmu. Sebelum Ibu melepaskan anak-anaknya ke dunia luar yang penuh dengan ujian, maka Ibu yang akan membekali anak terlebih dahulu dengan ilmu. Ilmu yang hanya dapat diperoleh di rumah. Karena ketika orang tua sudah melepaskan anaknya ke bangku sekolah, maka mau tidak mau mereka harus mengikuti kurikulum yang ada. Dimana kurikulum yang diterapkan saat ini adalah kurikulum berbasis sekuler yang tidak bisa membentuk syaksiyah Islamiyah sama sekali. Padahal bekal utama anak untuk bisa survivedalam menghadpai tantangan hidup di era yang serba bebas saat ini adalah kekuatan Akidah. Dengan Akidah yang kokoh, maka akan sulit untuk diruntuhkan oleh berbagai konspirasi keji yang terbalut kebebasan.

Seorang ibu juga harus mempersiapkan anaknya dalam menyambut masa balighnya. Mengenalkan mereka tentang beban hukum yang harus dipertanggungjawabkan secara pribadi di hadapan Allah kelak, dan memberikan bekal tentang pergaulan sehat yang tidak menjerumuskan anak-anaknya pada pergaulan bebas yang sedang mengintai. Kasih sayang seorang ibu mampu menyelamatkan anak dari ancaman predator diluar yang siap menerkam kapan saja ketika lengah.

Untuk itu, tidak ada keraguan lagi jika seorang Ibu dituntut untuk cerdas. Baik secara spiritual maupun akademis. Agar kelak, anak-anak yang dianugerahkan Allah kepadanya menjadi generasi yang cerdas dan relijius. Sehingga, ketika sudah besar nanti dia tidak akan menjadi pejabat yang korup, mudah di suap dan tidak bertanggungjawab. Karena keyakinannya kepada Allah "Kullu nafsin bimaa kasabat rahinah". Setiap manusia akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan pertanggungjawaban di hadapan Allah Sang Maha Pencipta adalah nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun